akhir kebengisan sejarah

akhir kebengisan sejarah

Rabu, 05 Januari 2011

tulisan asahan aidit

Asahan Aidit:
"SUHARTO'S" DALAM SEBAGIAN KELUARGA PKI DAN BEKAS-BEKAS LINGKUNGANNYA
Menjelang ahir perang Vietnam, Amerika memberlakukan secara penuh politik "Vietnamisasi Perang" dan lalu secara berangsur- angsur menarik tentaranya dari Vietnam Selatan yang diharapkannya orang Vietnam membasmi orang Vietnam atau negara boneka AS yang anti Komunis membasmi negara Vietnam Utara yang Komunis. Suharto agaknya menggunakan taktik demikian. Menggunakan orang-orang Komunis (PKI) untuk ambil bagian aktif dalam menghancurkan PKI atau Komunisme di Indonesia. Bagaimana caranya? Pertama, menteror secara fisik semua anggota-anggota PKI beserta pimpimannya, simpatisannya, dan semua orang yang dicurigai atau bersangkut paut langsung atau tidak langsung dengan PKI dan bahkan rakyat luas yang tidak punya sangkut paut dengan politik PKI. Teror raksasa itu dikenal sebagai peristiwa yang diawali G30S-65.
Bersamaan dengan teror fisik yang tak terbayangkan kejam dan berdarahnya di segi kwalitas dan kwantitas, Suharto melancarkan teror mental terhadap rakyat yang di luar penjara, orang-orang PKI dalam pembuangan seperti di Pulau Buru, penjara-penjara yang tersebar di seluruh Indonesia, dan juga dengan bermacam politik pemencilan seperti politik "bersih lingkungan" yang melahirkan jutaan penganggur ekstra, politik paksaan beragama, politik reklame dengan membuat film-film horor yang menggambarkan keganasan PKI, politik memberikan cap "ET" pada kartu penduduk bagi orang-orang yang disebut ex tapol, dan bermacam-macam politik pemencilan dan peng-isolasian lainnya yang membuat semua orang yang tertuduh, tersangka, maupun yang terang-terangan anggota PKI dan keluarganya menjadi bukan main sengsaranya, bukan main menderitanya dan bukan main hinanya. Semua politik teror mental dan teror fisik itu, dimaksudkan sebagai agar orang PKI dan semua pengikut dan simpatisannya, balik mengutuk PKI, mengutuk Komunisme, mengutuk Partainya sendiri, mengutuk keluarganya sendiri, mengutuk ayah, ibu , adik, kakak, dan semua sahabat serta handai tolannya yang pernah jadi PKI yang telah menyebabkan si PKI pengkutuk pernah sengsara, pernah dihukum, dibuang, atau yang sekedar selamat dan berlari dari kepungan kekuasaan Suharto dan Orde barunya.
Akibat dari politik teror besar dan pengucilan serta diskriminasi Suharto itu, semua kemarahan dan kebencian serta dendam kesumat lalu bermutasi kepada sang korban dan bukan kepada sang algojo. Dan bahkan terhadap algojo diberikan kultus individu, dianggkat jadi pahlawan dan kekejamannya dianggap sebagai perbuataan suci. Kepada sang algojo yang sudah jompo, bukan saja diharapkan masih akan ada susulannya, tapi diharapkan cetak ulang, bahkan jilid-jilid selanjutnya.
Tapi sesungguhnya nasib Suharto sama saja dengan nasib PKI. Hanya sampai di situ saja. Tidak akan ada susulannya, tidak akan ada cetak ulang, tidak akan ada jilid selanjutnya. Mengapa?
Karena kekejamanya sudah tercatat dan tersimpan dalam musium dunia: pelanggaran HAM yang tak terbilang kasar dan kejinya, koruptor milenium yang sudah jadi anekdot Internasional, diktator rekord dunia.Yang dia tinggalkan cumalah roh anti komunis, anti kemanusiaan, anti demokrasi anti HAM dan keterpurukan ekonomi negeri dan bangsannya. Politik besar Suharto yang anti PKI bukan hanya merugikan dan menyengsarakan orang -orang PKI saja tapi telah menyengsarakan seluruh bangsa, seluruh rakyat kecuali para pengikut setianya yang masih dibiarkan rakyat menikmati kekuasaan dalam waktu yang belum bisa diketahui. Sudah begitu, toh ada segelintir orang-orang dalam keluarga PKI sendiri dan sebagian kecil linggkungannya yang secara tidak tahu malu dan hina dina bersedia menyembah Suharto, sang algojonya sendiri. Inilah yang saya maksudkan dengan pasien Sindrom Suharto. Semua dendam kesumat, kemarahan serta kebencian mereka ditumpahkan kepada Partai mereka, keluarga mereka, kawan-kawan mereka bukan kepada penyebab langsung kesengsaraan mereka. Dendam sesat ini tidak lain dan tidak bukan cumalah semacam sakit jiwa akibat perburuan kejam Suharto terhadap semua kaum komunis beserta keluargaanya. Gejala demikian bukanlah sama sekali asing. Bahkan saya menyaksikan sendiri bagaimana sejumlah anak-anak kader PKI telah memusuhi ayah mereka dan tidak mau mengakui lagi sebagai ayah atau ibunya sendiri. Karena pikiran atau jiwa yang sakit, sudah tentu tidak bisa lagi ber-pikir normal, nuchter apalagi kritis. Sedangkan bagi PKI sendiri, percobaannya untuk mencapai cita-cita politiknya, telah gagal total akibat kelemahan di bidang teori, kesalahan dibidang politik, kemerosotan di bidang ideologi akibat pemborjuisan jalan damai di dalam Partai. Juga PKI hanya sampai sebegitu saja. Tidak akan ada cetak ulang, tidak akan ada jilid selanjutnya. Rakyat Indonesia cuma harus menunggu lahirnya putra-putri terbaik mereka untuk bisa dijadikan teman setia dan terpercaya dalam memperjuangkan nasib mereka.
yang masih normal masih bisa diajak bertukar pikiran, berbeda pendapat bahkan bertengkar hingga tajam dan sengit. Ini keuntungan demokrasi yang bisa kita nikmati sekarang meskipun masih dalam bingkai yang masih terbatas. Seseorang menyikapi sejarah bangsanya bukanlah dengan sikap permusuhan, sikap fanatisme, sikap kultus individu, tapi dengan sikap berani kenyataan sejarah yang telah terjadi, tapi juga bila perlu mengoreksinya kembali sampai di mana sejarah itu telah ditulis sebagai ingatan kolektif, ingatan nasion maupun ingatan Internasional. Dan juga mengenal situasi kontemporer jamannya. Abad anti komunis yang mencapai puncak-nya di tahun enam puluhan, sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan mata pencaha-rian seperti pada jaman itu. Dunia sudah sibuk dengan urusan lain. Amerika dan CIA sudah tidak membuang-buang waktu dan uang besar untuk keperluan ini. Mereka mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Kalau Komunisme runtuh di sebuah negara, bukan karena duit Amerika dan CIA. Mereka dapatkan semua itu dengan gratis. Jadi jangan punya banyak ilusi akan dapat upah dengan mata pencaharian semacam itu, dan akan hanya mempermalu diri sendiri, menghina diri sendiri, merendahkan diri sendiri di hadapan bangsa dan keluarga. Tapi itu tidak berarti kita tidak waspada pada sisa-sisa kekuatan anti Komunis, anti demokrasi dan anti HAM di dalam negeri. Gudang penguasa masih belum terkunci mati dan bisa dibuka setiap saat bila mereka anggap perlu. Tapi juga mereka harus memperhitungkan bahwa rakyat yang mereka tindas, juga punya pengalaman-pengalamannya sendiri di masa lalau. Pepatah mengatakan: " Seorang kakek tidak akan kehilangan tongkat untuk kedua kali".Dan juga perlu, tongkat itu bisa dijadikan macam-macam untuk berlawan.
asahan aidit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar