akhir kebengisan sejarah

akhir kebengisan sejarah

Selasa, 27 Desember 2011

MARHAENISME ADALAH BAGIAN DARI PANCA AZIMAT

MARHAENISME ADALAH BAGIAN DARI PANCA AZIMAT

Memahami ajaran Bung Karno, ternyata tidak semudah memahami ajaran ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu lainnya, yang masing-masing mempunyai standard. Seperti diakui Bung Karno sendiri di hadapan utusan PNI Osa Maliki tahun 1966, bahwa Ajaran Bung Karno itu, selain apa yang ditulis, apa yang diucapkan, juga apa yang dilakukan, dan malahan ‘diamku’ yang termasuk bagian dari ajaran Bung Karno.

Salah satu ajaran Bung Karno yang spektakuler mengenai ‘diamKu’ adalah ketika pada tahun1945, kelompok Hatta-Syarir membikin Badan Pekerja KNIP sebagai lembaga Legislatif yang melalui Maklumat X, dengan cabinet bertanggungjawab kepada KNIP. Walau kebijaksanaan kedua tokoh ini, menurut ben Anderson dalam buku revolusi Pemuda, adalah ‘kudeta diam-diam’, akan tetapi Bung Karno ‘diam seribu bahasa’ tanpa memberikan reaksi.

Kebijakan ‘diamKu’ ini sungguh sangat besar nilainya bagi sejarah Republik Indonesia. Sebab apabila Bung Karno melakukan reaksi ‘tidak setuju’, maka akan pasti terjadi konflik politik ditingkat paling atas, pada saat revolusi baru berjalan beberapa hari. Artinya, disini Bung Karno mengajarkan kepada bangsa “ diam tanpa reaksi terhadap suatu kekeliruan, demi utuhnya kepemimpinan nasional “, pada saat musuh (Belanda) berada di depan garis pertahanan.

Sikap seperti ini juga berlaku kembali di tahun 1965, ketika Bung Karno mendeklarasikan ajarannya dengan “Panca Azimat Revolusi”, yang di dalam lima aziamt itu tidak termasuk marhaenisme. Pidato 17 Agustus 1965, yang merupakan pidato terakhir Bung Karno dalam posisi merdeka, diutarakan ajaran beliau, dengan kalimat:

“Aku berdo’a, Ya Allah ya Robbi, moga-moga gagasanku, ajaran-ajaranku yang kini tersimpul dalam lima azimat, gagasan-gagasanku, ajaran-ajaranku itu akan hidup seribu tahun lagi.

…..Panca Azimat adalah pengejawantahan dari pada seluruh jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita yang terbentuk disepanjang sejarah 40 tahun lamanya. Azimat Nasakaomlah yang lahir lebih dahulu dalam tahun 1926…..Azimat kedua adalah Azimat Pancasila yang lahir bulan Juni 1945….Azimat ketiga adalah azimat Manipol/Usdek, yang baru lahir setelah 14 tahun lamamnya mengalami masa republic Mereka…..Aziamt keempat adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun yang lalu ……..azimat kelima adalah azimat Berdikari, yang terutama tahun ini kucanangkan.”

Bagi orang-orang PNI, Pernyataan Bung Karno seperti ini, bisa jadi dianggap kurang pas. Sebab dalam azimat tadi, tdak menyebut Marhaenisme. Padahal secara ukuran waktu, Marhaenisme adalah ajaran Bung KArno yang pertama ditemukan melalui Kang Marhaen di Cigalereng Tahun 1921. Dan memang Bung Karno dalam pernyataannya sering membikin orang-orang PNI merasa tidak pas, seperti misalnya pidati 1 Juni 1945, pada bagian akhir ungkapan Bung Karno mengatakan, bahwa kelima sila itu bisa diperas menjadi tiga saja, yakni sosio nasionalisme, sosio –Demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa. Sementara sosio nasionalisme dan Sosio – Demokrasi, adalah formulasi dari Marhaenisme. Dalam beberapa kesempatan Bung Karno selalu mengutarakan bahwa “ya Marhaenisme, ya Pancasila adalah kerbau-kerbau satu kandang”.

Dan yang membuat orang-orang PNI kesal , jika Bung Karno mengatakan, “yang tidak setuju kepada nasakom, berarti tidak setuju kepada Pancasila, yang tidak setuju kepada Pancasila, tidak setuju kepada Marhaenisme”, Ungkapan-ungkapan seperti ini, bagi banyak orang PNI dinilai ‘memojokan orang PNI’.

Satu hal yang pantas dikagumi terhadap orang-orang PNI, bahwa semua orang PNI merasa memiliki Negara republic Indonesia. Perasaaan tidak sekedar sebagai warga Negara, akan tetapi merasa sebagai ikut memiliki Negara. Rasa ikut memiliki Negara, bertolak dari anggapan bahwa Bung Karno adalah ‘Bapak Marhaenisme’, yang sekaligus pendiri PNI, kemudian sebagai Proklamator RI, dan menjadi Presiden pertama, dan ditetapkan lagi menjadi presiden seumur hidup. (kemudian dibatalkan oleh A.H. Nasution melalui Tap MPRS XVIII/1966). Perasaan ikut memiliki ini, berakar seperti seorang anak yang merasa berhak atas kepemilikan bapaknya, jadi bernilai feodalistik. Hubungan dengan Bung Karno, oleh sebagian orang PNI dianggap sudah berkadar ‘perkoncoan’. Jadi tidak sekedar idiologis.

Namun ketika Bung Karno bicara di kongres PNI tahun 1963 di Purwokerto menegaskan bahwa Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan sidang BPK PNI Bandung, April 1964 memutuskan “Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan “ maka orang-orang PNI pun pecah berantakan. Sebagian besar orang PNI membentuk PNI tandingan sambil mendeskreditkan PNI lainnya sebagai ASU (ali Surachman) yang berbau Marxis. Tapi kedua pihak tetap mengatakan sebagai pengikut ajaran Bung Karno.

Marhenisme memang tidak disebutkan oleh Bung Karno di dalam Azimat . Akan tetapi jika uraian Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tentang Marhaenisme, seperti

Dua dasar yang utama, kebangsaaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu’ itulah yang dahulu saya namakan sosio- nasionalisme. Dan Democrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politieke democratie, dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan socio democratie.”

Uraian ini bila ditambah dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah sepenuhnya mempunyai makna yang sama dengan Pancasila. Jadi ucapan Bung Karno “ Ya Pancasila, ya Marhaenisme adalah kerbau-kerbau dari satu kandang “ adalah benar sepenuhnya.
Memang bisa menjadi pertanyaan, mengapa dalam Panca ajimat Bung Karno tidak memasukan Marhenisme. Saya menilai bahwa kebijaksanaan Bung Karno tidak menempatkan Marhaenisme di dalam panca azimat ialah karena Marhenisme itu sudah menjiwai keseluruhan panca azimat . bung Karno sangat arif untuk tidak menyebut marhaenisme sebagai sama dengan Panca Azimat , karena dua hal:

1. Jika Marhaenisme disebut sebagai sama dengan Panca Azimat, maka orang-orang PNI menjadi besar kepala, dan merasa sebagai TUAN pemilik Negara, padahal orang-orang PNI tidak menjalankan ajaran Bung Karno itu.
2. Jika MArhaenisme disebut sebagai ajaran dalam status Panca Azimat, hal itu akan menimbulkan keengganan dari rakyat Indonesia yang non PNI, menerima ajaran Bung Karno.
Soalnya, bangsa Indonesia memang masih lebih banyak mengambil kesimpulan, bukan secara rasional, melainkan secara emosional.

Rakyat yang setuju kepada Ajaran Bung Karno, akan tetapi jika hal itu mengharuskan mereka menjadi anggota PNI, akan banyak yang keberatan. Sementara tanpa menyebut Marhaenisme, namun secara hakiki paham itu sudah ada dalam panca Azimat.

Jika orang-orang PNI sadar bagaimana arifnya Bung Karno memberi nama pada ajarannya, demi semua rakyat Indonesia bersatu padu di dalamnya, mestinya orang-orang PNI sejak sekarang, tidak lagi ngotot menyebut Marhaenisme, pada saat penggemblengan massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar