akhir kebengisan sejarah

akhir kebengisan sejarah

Sabtu, 31 Desember 2011

Pidato Bung Karno di depan peserta Kongres Partindo, di Gedung Olahraga, Jakarta, tanggal 26 Desember 1961.

Saudara-saudara sekalian

Saya diminta untuk memberikan wejangan sekadarnya resepsinya dalam pendahuluan daripada kongres Partindo ini.

Wejangan atau pidato biasanya dimulai dari beberapa sudut. Dari sudut apa saya harus mulai pidato saya ini? Saya kira lebih baik saya mulai pidato saya ini dari sudut apa yang telah dikatakan apa yang dikatakan oleh saudara Asmara Hadi dan saudara Winoto, yang mengatakan bahwa Partindo berdiri diatas dasar Marhaenisme ajaran bung Karno. Malahan saudara Winoto ditandas-tandaskan beberapa kali, Marhaenisme Partindo adalah Marhaenisme ajaran bung Karno, Marhaenisme ala Sukarno, Marhanisme ala bung Karno. Itu beberapa kali ditandas-tandaskan. Sampai rasanya juga masuk tulang sumsum saya saudara-saudara. Masuk tulang sumsum saya.

Kemudian saya ngerogoh salira, meriksa saya punya diri sendiri. ”He Sukarno! Engkau diperingatkan oleh Asmara Danuwinoto, bahwa yang harus dipakai sebagai dasar, dus harus dilaksanakan adalah Marhanisme ala Sukarno. Sekarang Sukarno bertanya kepada Sukarno, apakah engkau menjalankan Marhaenisme ala Sukarno apa tidak? Itulah ragahan salira saya, waktu saya duduk disana mendengarkan pidatonya saudara Asmara Hadi dan saudara Asmoro Danuwinoto…..
Saudara-saudara menurut keyakinan saya, saya bediri melaksanakan Marhaenisme ala Sukarno. Sebab sebagai tadi dikatakan oleh Saudara Asmara Hadi, Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan Indonesia.

Revolusi, kataku, tidak pernah dan tidak bisa, tidak dapat mandeg. Kalau sesuatu revolusi mandeg, maka itu bukan revolusi. Itu sekedar revolusi-revolusian, revolusi bikinan manusia, ya gadungan. (Bung Karno)

Saya bertanya: He Sukarno, apakah engkau menjalankan Marhaenisme di Indonesia? Ya, kataku.

Nah, lantas urutan yang lain ialah, dua orang menamakan dirinya Marhanis. Tetapi tidak menjalankan Marxisme di Indonesia, apakah dia Marhaenisme apa tidak? Saya bilang bukan! Orang demikian itu Marhaenisme gadungan ! saudara-saudara.

Ada lagi pertanyaan: kalau Marxisme sejati, apakah Marxis sejati itu radikal revolusioner apa tidak ? saya kata, ya. Marxis sejati adalah radikal revolusioner. Dus orang yang menyebut dirinya radikal revolusioner tapi tidak Marxistis, apakah dia benar-benar radikal revolusioner? Saya berkata, tidak! Orang yang demikian itu, yang tidak radikal, tidak revolusioner adalah Marxisme gadungan.

Ada lagi urutan lain, kalau Marxis sejati, apakah dia menderita penyakit komunistophobi apa tidak. Dus, orang yang tidak menyebutkan dirinya Marxis, tetapi dia menderita penyakit komunistophobi, dia itu ? Marxis gadungan.
Nah, ini saya petani (teliti) saya punya diri sendiri. Saya ini Marhaenis, ya apa tidak? Ya. Saya ini menderita komunistophobi apa tidak? Tidak.

Nah, saya minta juga di dalam Partindo jangan ada orang yang menderita komunistophobi.

Dulu didalam kongres PNI saya pernah berkata, awas ada makelar gelap lho! Sekarang kepada kongres Partindo pun ada makelar-makelar gelap, sebab, makelar gelap itu dimana-mana ada. Karena itu, kita harus waspada benar, kata saudara Danuwinoto itu.

Saudara-saudara mengetahui, bahwa sebagai sebagai sudah saya katakan di dalam pidato saya pada hari ibu, revolusi Indonesia itu sekarang sedang memuncak lagi. Revolusi, kataku, tidak pernah dan tidak bisa, tidak dapat mandeg. Kalau sesuatu revolusi mandeg, maka itu bukan revolusi. Itu sekedar revolusi-revolusian, revolusi bikinan manusia, ya gadungan.
Tadi pak Winoto berkata, Partindo misalnya bukan bikinannya Winarno, bukan bikinannya Asmara Hadi, bukan bikinannya Winoto, bukan bikinannya siapa pun. Partindo, pak Winoto, adalah hasil daripada proses masyarakat. Benar kata pak Winoto itu.

Maka demikian pula revolusi. Revolusi bukan bikinan manusia, malah saya sebagai Marxis men-siteer Karl Marx itu berkata, bahwa revolusi bukanlah anggitan daripada seseorang didalam satu malam yang ia tidak bisa tidur. Ya ini perkataan Marx, revolusi bukanlah anggitan daripada seseorang, kata dalam bahasa asingnya, ”in een slapelozemacht”.

Maka demikian pula revolusi Indonesia bukan anggitan daripada seseorang manusia “in een slapezo macht”. Bukan bikinan Sukarno, bukan bikinan siapa pun, tetapi revolusi Indonesia, oleh karena revolusi Indonesia adalah benar-benar revolusi dan bukan revolusi gadungan, adalah hasil daripada satu “maatschappelijk process”, satu proses daripada masyarakat yang akhirnya meledak sebagai revolusi.

Nah kataku, revolusi yang demikian itu tidak mandeg, revolusi yang demikian itu berjalan terus sampai ia mencapai tujuan daripada proses masyarakat itu. Hanya benar jikalau orang berkata, suatu revolusi itu mengalami ups and down. Pasang naik dan pasang surut, pasang naik, pasang surut, pasang naik, pasang surut, tetapi pasang naik dan pasang surut tak lain bukanlah ialah laksana naik dan turunnya gelombang-gelombang didalam satu samudra yang maha sakti. Tetapi samudranya tetap ada dan akhirnya samudranya menjalankan darma baktinya sebagai samudra pula. Maka revolusi kita saudara-saudara, tidak pernah mandek, tidak akan mandek, tetapi akan mengalami ups and down, pasang naik, pasang surut, pasang naik, pasang surut.

Saudara-saudara mengetahui bahwa kita mengalami pasang naiknya revolusi kita sejak 17 agustus 1945 sampai pada akhir tahun 1949. Kemudian mengalamilah kita pasang surut, 1950 sampai kepada 1957. Alhamdulillah kita mengalami lagi pasang naik, dan pasang naik memuncak sekarang ini kepada persoalan Irian Barat.

Didalam alam pasang naik inilah saudara-saudara, kita harus dapat menempatkan kita punya diri didalam naiknya pasang revolusi Indonesia ini, kita akan tenggelam didalam revolusi, tenggelam dalam arti hilang. Tenggelam didalam arti kita digiling sama sekali oleh revolusi ini. Revolusi tenggelam didalam revolusi itu, hilang, sebagai sampah yang hilang ditelan samudera.

Nah, soal Irian Barat adalah demikian saudara-saudara. Saudara mengetahui segala saja-saja yang ikut-mengikuti satu sama lain daripada persoalan Irian Barat dan akhirnya kita menjalankan konfrontasi politik. Tidak perlu saya ulangi, semua saudara sudah mendengarkan pidato saya pada tanggal 11 desember yang lalu di Yogyakarta. Saudara-saudara bisa mendengarkan pidato saya dihadapan kaum wanita pada hari ibu. Jalannya gelombang perjuangan kita memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republik saudara-saudara telah mengetahui semuanya. Dan akhirnya, kita pada saat sekarang ini mencapai satu tingkat yang tinggi dalam perjuangan itu.

Maka saudara-saudara, saya berkata dalam Kongres Gerwani dengan tegas agar supaya benar-benar kita memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic, maka kita harus menyelenggarakan satu persatuan total. Satu persatuan total, persatuan daripada segenap tenaga yang ada didalam bangsa kita Indonesia ini. Maka disinilah tempatnya pengertian benar-benar akan salahnya sesuai phobi.

Kalau orang bicara tentang persatuan total, jangalah bicara tentang phobi. Jangan kita menderita komunistophobi, jangan kita menderita nationalistophobi, jangan kita menderita islamophobi. Persatuan total hanyalah bisa kita selenggarakan benar-benar jikalau tidak ada manusia diantara bangsa Indonesia ini menderita suatu phobi.

Saya lihat kedalam nasionalis menderita islamtophobi. Hilangkan penderitaan yang demikian itu. Ada yang menderita dikalangan kaum nasionalis, komunistophobi. Hilangkan yang demikian itu, juga dalam Partindo. Sebab saya tahu, bung Karno ini meskipun sudah tua, 60 tahun, mungkin karena oleh bung Karno ini presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republic Indonesia, sekarang malah dikatakan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, ditambah lagi dengan title baru lagi Pemimpin Besar Pengerahan Tenaga untuk memasukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic. Mungkin karena itu, bung Karno ini tua-tua matanya seribu saudara-saudara, mata seribu, telinga dua ribu. Dan dengan mata seribu, telingan dua ribu itu bung Karno mengetahui bahwa didalam Partindo pun ada orang-orang yang menderita komunistophobi. Dengan terus terang saja saudara-saudara, didalam Partindo juga ada makelar-makelar gelap. Dan makelar-makelar gelap ini harus kita keluarkan dari Partindo. Makelar gelap daripada orang-orang yang yaitu “jangan sampai….komunistophobi, katanya ini, jangan sampai dapat pengaruh besar….he, Partindo jangan terlalu rapat sama PKI”.

Ini zaman bukan phobi-phobian, ini adalah zaman untuk mengadakan persatuan total diantara bangsa Indonesia. Saya menghendaki kepada PNI jangan menderita komunistophobi, saya minta kepada PNI jangan menderita komunistophobi, saya minta kepada Nahdatul Ulama jangan menderita nasionalistophobi, saya minta kepada Nahdatul Ulama jangan menderita komunistophobi, jangan ada phobi-phobian. Saya ulangi lagi bagaimana kita bisa menggembleng persatuan total jikalau kita masih phobia-phobian.

Nah, jikalau itu terang saudara-saudara, maka marilah kita laksanakan kita punya darma didalam sejarah, antara lain, saya kata, antara lain masukkan Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan republic. Satu darma lain ialah untuk nanti membikin kuat kita punya Negara republic Indonesia kesatuan ini. Dharma lain ialah menyelenggarakan suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang dengan tegas saya katakan ini adalah masyarakat sosialis. Dharma lain ialah untuk membangun satu dunia batu menurut kerangka nomor tiga daripada dharma bakti bangsa Indonesia.

Saudara-saudara dalam menjalankan dharma-dharma kita itu kita harus benar-benar berdiri diatas kewajiban-kewajiban yang diletakkan oleh sejarah diatas pundak kita.

Maka saudara-saudara, saya ulangi apa yang saya katakan dihari ibu. Sekarang pun habis waktunya untuk hanya pernyataan-pernyataan dukungan-dukungan. Komando Rakyat kami dukung sepenuhnya.

Saya tadi mengucapkan syukur Alhamdulillah, bahwa ucapan saudara Asmara Hadi sebenarnya dikoreksi oleh saudara Winoto. Pak Asmara ucapkan oleh presiden. Taat, taat itu seperti “inggih, semuhun dawuh”, abdi nah taat, nuwun inggih, dalem taat. Saya minta Partindo bukan hanya taat kepada Komando Rakyat yang diucapkan presiden pada tanggal 19 desember yang lalu, tetapi bahwa itu sebenarnya adalah pengutaraan dari hati Partindo sendiri. Lantas dikatakan pak Winoto tadi, malahan Partindo berjalan dimuka bung Karno. Ya memang, tetapi saya pun minta, jangan hanya Partindo saja berjalan dimuka bung Karno. Ya memang, tetapi juga saya minta, jangan hanya Partindo saja berjalan dimuka bung Karno, PKI dimuka bung Karno, PNI dimuka bung Karno, NU dimuka bung Karno, Sobsi dimuka bung Karno, seluruh rakyat Indonesia dimuka bung Karno. Sebab saudara-saudara, politik pada waktu sekarang ini sudah mencapai satu tingkat lagi yang lebih tinggi daripada yang biasa. Dulu, apa yang dinamakan politik? Politik dulu itu yah, siapa yang menulis disurat kabar…….politik……..adalagi, kalau ada orang pidato……..politik. sekarang ini sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Ingat, tahun 1927, 34 tahun yang lalu saya peringatkan buat pertama kali didalam pidato kursus saya di Cilentah-saya ingat benar, ya Cilentah Bandung-bahwa politik adalah sebagai yang sekarang saya ulangi beberapa kali, penyusunan tenaga dan penggunaan tenaga, ”machtsvorming dan machtsontplooing”. Sehingga saya berkata, siapa yang mengatakan dia menjalankan politik, tapi tidak menyusun macth, tidak menjalankan machtsvorming dan machtsontplooing, orang yang demikian itu, kataku, sekedar menjalankan politik-politikan.

Marhaenisme dan relevansinya dalam situasi sekarang

Di bulan September 1958, Bung Karno telah menjawab klaim marhaenis di kalangan para pendukungnya. Dalam pidatonya di istana negara itu, Bung Karno mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.

Pidato itu adalah sebuah penegasan, setidaknya kepada kader-kader marhaen yang masih komunisto-phobia, bahwa marhaenisme adalah marxisme. Segera setelah itu, muncul penentangan dari dalam kubu Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sendiri, terutama dari kubu Ketua Umum PNI, Osa Maliki. Kata Osa Maliki, “Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme”.

Tetapi Soekarno tidak hanya sekali mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Itu dikatakannya berkali-kali, bahkan semakin diperlengkap dan disistematisir. Misalnya, pada tahun 1936 ketika berpidato di hadapan Front Marhaenis, Bung Karno mengatakan bahwa untuk memahami Marhaenisme, maka kita harus menguasai dua pengetahuan: (1) pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan (2) pengetahuan tentang marxisme.

Soekarno mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx, terutama tentang materialisme-historisnya. Dan, pada saat itu, Soekarno jelas-jelas menyebut Marhaenisme sebagai penerapan materialis-historisnya Karl Marx dalam kekhususan masyarakat Indonesia.

Dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael Laifer, disebutkan bahwa marhaenisme adalah salah satu varian dari marxisme. Mungkin bisa disejajarkan dengan Maoisme, José Carlos Mariátegui, Sosial demokrat, Leninisme, dan lain sebagainya.

>>>

Bung Karno mulai mengelaborasi gagasan-gagasan yang membentuk marhaenisme pada tahun 1920-an. Untuk mengerti gagasan-gagasan tersebut, tentu kita kita harus melihat kembali konteks saat itu. Pada saat itu, ada tiga gagasan besar yang mempengaruhi gerakan pembebasan nasional Indonesia: marxisme, nasionalisme dari bangsa tertindas, dan Islamisme yang anti-kolonial.

Sejarahwan Soviet yang juga penulis Biografi Soekarno, Kapitsa MS dan Maletin NP, menyebut gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang eklektis, yang secara keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealis.

Alasannya, kata kedua sejarahwan Soviet itu, karena Soekarno mencampurkan ke dalam ajaran marhaenisme itu beberapa ajaran2 sosialisme borjuis kecil, khususnya sosialisme islam dan ide-ide tradisional, yang sejalan dengan gagasannya tentang demokrasi dan anti-imperalisme.

Pada awalnya, Soekarno agak berhati-hati dengan materialisme, karena anggapannya materialisme itu anti-tuhan. Tetapi, setelah beberapa saat kemudian, Soekarno sudah membedakan antara meterialisme-historis Marx dan materialism-nya Feurbach. “Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang anti Tuhan, tetapi bukan Historis Materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, misalnya materialisme-nya Feuerbach: Filosofis Materialisme, Wijsgerig Materialisme,” kata Soekarno.

Kata ”Marhaen” sendiri merujuk kepada nama seorang petani kecil yang ditemui Soekarno. Marhaenisme, jika kita lihat dari urian Bung Karno di tulisan ”Marhaen dan Proletar”, adalah sebuah analisa terhadap klas-klas sosial dalam relasi produksi mayarakat Indonesia.

Kenapa menggunakan istilah Marhaen, bukan proletar? Karena, menurut Soekarno, keadaan eropa tidak sama dengan keadaan di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang adalah ’kepabrikan’, sedangkan di Indonesia adalah pertanian; di eropa kapitalisme bersifat zuivere industrie (murni industri), sedangkan di Indonesia 75% bersifat onderming gula, onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya.

Soekarno lalu menyimpulkan:

”Bahwa di sana kapitalisme itu terutama sekali kaum proletar 100%, sedangkan di sini terutama sekali menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa di sana memang benar mati-hidupnya kapitalisme itu ada di genggaman kaum proletar, tetapi di sini sebagian besar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya di sana kaum proletar menjadi ”pembawa panji-panji”, tetapi di sini belum tentu harus juga begitu?”

Ada yang mengatakan, Soekarno seorang eklektik karena mengutamakan borjuis kecil dalam revolusinya. Saya rasa tidak begitu. Soekarno, dalam tulisan ’Marhaen dan Proletar”, memberikan penghargaan kepada kaum buruh sebagai—meminjam istilah Soekarno: ”menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial”.

Ia dengan terang membedakan antara karakter klas kaum tani dan kaum buruh. Menurutnya, kaum tani umumnya masih hidup satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, dengan pergaulan hidup dan cara produksi yang masih kuno. Sedangkan Proletar, di mata Soekarno, sudah mengenal pabrik, mesin, listrik dan cara produksi kapitalisme. ”Mereka langsung menggenggam hidup-matinya kapitalisme di dalam tangan mereka, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme,” kata Soekarno.

>>>

Kenapa Marhaenisme tidak berkembang setelah Bung Karno tiada?

Sudah jelas, marhaenisme tidak bisa dipisahkan dari ajaran marxisme. Akan tetapi, ketika Soekarno menegaskan hal itu, sebagian pengikutnya di dalam PNI menyatakan penentangan keras. Padahal, seharusnya PNI inilah yang menjadi kendaraan operasional dan pengembangan ideologi Soekarno itu.

Pemisahan terhadap Marhaenisme dan Marxisme makin kentara ketika Soeharto berkuasa. Kita tahu, selepas Soeharto melakukan kudeta terhadap Soekarno, orang-orang kiri, yang tidak lain penganut marxisme atau terpengaruh marxisme, dikejar-kejar dan dibasmi dengan kejam. Orang pun lantas takut dituding penganut marxisme.

Jadi, ajaran marhaenisme pasca bung Karno adalah marhaenisme tanpa marxisme. Karena landasan teorinya dihilangkan, maka marhaenisme pun mengalami kebangkrutan sebagai teori perjuangan.

Apakah marhaenisme masih relevan untuk sekarang ini?

Menurut saya, marhaenisme, sebagai marxisme yang dipraktekkan di Indonesia, adalah sebuah teori ilmiah yang menentang dogmatisme. Soekarno tidak mau mengcopy-paste begitu saja marxisme dari Eropa untuk diterapkan di Indonesia.

Inilah pula yang dilakukan oleh Lenin dalam konteks Rusia, Mao dalam situasi Tiongkok, atau José Carlos Mariátegui di Peru.

Dengan penentangan yang kuat terhadap dogmatisme, maka marhaenisme semestinya bisa berkembang menjadi teori perjuangan yang canggih dan sesuai dengan nafas perkembangan jaman.

Sebagaimana marxisme sebagai the guiding theory untuk menjalankan perjuangan, maka Marhaenispun adalah the guiding theory untuk perjuangan rakyat Indonesia. Soekarno sendiri berkata:

” Jangan sekali lagi engkau terima Marhaenisme itu sekedar teori, tidak, Guide to action, dan engkau harus act, engkau harus berjuang dan bertindak. Saudara-saudara, tujuannya sudah jelas, tujuan kita sudah jelas, yaitu masyarakat adil dan makmur didalam Indonesia merdeka yang merdeka betul. Kerangka Revolusi yang ketiga : Indonesia merdeka, berbentuk negara Republik Indonesia, kesatuan, berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke. Itu harus kita laksanakan dengan action, dengan action, dengan perbuatan, dengan amal. Masyarakat yang adil dan makmur, masyarakat Sosialisme Indonesia, –aku selalu berkata, tanpa exploitation de l’homme par l’homme.”

Juga, karena penekanan marhaenisme pada ”pemilik produksi kecil”, maka ia menjadi sangat relavan untuk menjawab kekhususan karakter kapitalisme Indonesia dalam alam neoliberal saat ini. Perkembangan ini ditandai dengan melonjaknya sektor informal akibat de-industrialisasi. Sekarang ini pertumbuhan sektor informal yang sekarang ini mencapai 70% dari angkatan kerja. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan kecil (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan kecil (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian (petani menengah, miskin, dan gurem).

Saya sendiri berkesimpulan, bahwa sangat sulit berbicara gerakan perubahan atau semacam revolusi di Indonesia tanpa memperhitungkan peranan “pemilik produksi kecil” ini.
sumber :jurnal new left

Marhaenisme kini :Relevansi sebuah konsep tradisional di Indonesia abad ke 21

Oleh: Rainer Adam
Direktur Program
Friedrich Naumann Stiftung

Beberapa waktu belakangan ini beberapa kali saya berdiskusi dengan kawan-kawan saya dari
PDI Perjuangan tentang relevansi dan kepraktisan penerapan konsep “Marhaenisme” untuk
politik Indonesia saat ini. Setelah mempelajari dengan hati-hati beberapa dokumen sejarah
dan materi-materi yang lebih mutakhir dari Partai tersebut, saya hendak menguraikan
beberapa hasil pemikiran saya di dalam esai ini.
Bagi Sukarno, “Marhaen” bukan hanya melambangkan perwakilan terbaik kelas bawahkelas bawah –
layaknya partai buruh di negara manapun misalnya bagi kaum “proletar” (buruh, buruh tani,
pengrajin, dsb). Bagi Sukarno Marhaen mewakili mayoritas rakyat kecil Indonesia pada
umumnya yang – apakah ia pekerja atau wiraswasta – hidup termajinalkan

selanjutnya silahkan
download

Marhaenis di Era Imperialisme(coen husin pontoh)

Catatan untuk Budiman Sudjatmiko

ARTIKEL panjang Budiman Sudjatmiko (di sini dan di sini), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, artikel itu coba melihat bagaimana kondisi negara-bangsa Indonesia di era kapitalisme-neoliberal saat ini; kedua, bagaimana posisi Marhaenis di tengah-tengah pergulatan itu; dan ketiga, bagaimana seharusnya Marhaenis bersikap.

Untuk memudahkan catatan saya terhadap artikel Budiman itu, saya ingin menempatkan artikel tersebut dalam bingkai Republik dan bingkai Imperialisme (saya tidak menggunakan istilah neoliberal, karena istilah ini lebih berbicara soal masalah ekonomi internasional). Republik di sini saya maksudkan, sebagai upaya bersama sebuah bangsa untuk meninggikan derajat kesejahteraan rakyat, harkat kemanusiaannya, dan independensinya dalam pergaulan antar bangsa. Dengan demikian, Republik bermakna pembangunan ke dalam di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.

Sementara Imperialisme, adalah sebuah upaya pembangunan kekaisaran global (empire) melalui proses penaklukan, pendudukan, dan atau pengontrolan sumber-sumber daya alam di luar negeri. Pada masa sekarang ini, kalangan ilmuwan sosial progresif meyakini, Imperialisme merupakan motor penggerak sejarah yang sebenarnya. Dengan demikian, ada jurang lebar antara pengertian Republik dan Imperialisme. Jika keberhasilan Republik dinilai berdasarkan hubungan yang setara, tumbuh suburnya solidaritas sosial di kalangan anak-bangsa, maka kesuksesan imperialisme dihasilkan dari hubungan yang timpang dan dominatif.

Dari pemaknaan ini, ingin saya katakan, sejak peristiwa G30S 1965, negara-bangsa Indonesia sebagai sebuah Republik, praktis telah gagal, hancur berkeping-keping. Martabat manusia diluluh-lantakkan, hubungan antar sesama berlangsung penuh kecurigaan dan serba tegang, rasa solidaritas dan kebersamaan musnah. Yang tinggal adalah laku bunuh-bunuhan, jegal-jegalan, korupsi, kebodohan, kemiskinan, penghianatan intelektual, hingga ketergantungan yang parah terhadap dinamika ekonomi internasional.

Beriringan dengan kebangkrutan Republik itu, rejim Orde Baru (Orba), di bawah kondisi perang global melawan komunisme, secara perlahan dan penuh kepastian, menggiring negara-bangsa Indonesia menjadi negara klien (Client-State/CS) bagi negara imperial (Imperial-State/IS). Dalam posisi sebagai CS ini, rejim Orba berfungsi memfasilitasi, melayani, dan melindungi kelancaran dan kelangsungan eksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Indonesia. Sejak peristiwa G30S 1965 itu, apa yang disinyalir Bung Karno sebagai “bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa,” diwujud-nyatakan oleh rejim Orba.

Setelah reformasi yang menumbangkan pucuk kekuasaan rejim Orba pada 1998, terjangan imperialisme semakin menjadi-jadi. Rejim-rejim paska reformasi kian menjadikan dirinya sebagai klien imperialis. Jika pada masa Orba, agen-agen imperialisme masih harus bernegosiasi dengan struktur kekuasaan yang relatif homogen, saat ini, justru rejim-rejim paska reformasi berusaha semampu mungkin mengikatkan dirinya pada agen-agen imperialisme itu. Jika pada masa Orba, Imperialisme bekerja di bawah payung perang global melawan komunisme, di masa reformasi ini, Imperialisme bekerja di bawah atap perang global melawan terorisme. Akibatnya, bukannya membuka lembaran baru bagi kebangkitan kembali Republik, rejim di era transisi ini malah kian menghamba pada tuntutan-tuntutan negara imperial: obral murah perusahaan milik negara, mencabut sesegera mungkin subsidi untuk kebutuhan mendasar rakyat, atau bagaimana agar kekuatan buruh selekas-lekasnya dilucuti agar tidak mengganggu kelangsungan akumulasi kapital.

Dan, keberhasilan melayani kepentingan imperial itu, dijadikan ukuran sukses tidaknya kinerja rejim masa transisi. Kata kuncinya, semakin terintegrasi semakin sukses. Misalnya, semakin banyak menjual perusahaan milik negara (BUMN), pertanda rejim baru ini sukses melaksanakan reformasi ekonomi. Semakin cepat mencabut subsidi kebutuhan pokok, semakin berbangga diri sebagai rejim paling konsisten. Semakin cepat membayar utang luar negeri, semakin merasa terhormat di mata negara imperial.

Tapi, kita tahu, semua rasa bangga itu bermakna, makin hancurnya bangunan Republik. Pertanda, posisi kaum Marhaen semakin terjepit, tergilas, dan tertinggal. “Kaum segala kecil” inilah yang pada akhirnya harus membayar totalitas penghambaan itu. Mereka tidak dilayani, dilindungi, dan difasilitasi oleh rejim-rejim paska reformasi. Bahkan, ketika rejim itu dipimpin oleh anak darah Bapak Marhaen, Soekarno.

Bagaimana Sikap Marhaenis?

Pada titik ini, kita tidak mendapatkan sebuah uraian yang memadai dari Budiman Sudjatmiko. Ia hanya memberikan lontaran-lontaran ide yang umum. Misalnya, ia mengatakan, untuk menjawab tantangan kekinian berupa runtuhnya Republik dan berjayanya globalisasi neoliberal, kaum Marhaen haruslah menjadi sebuah gerakan politik. Dan rupanya, gerakan politik yang dimaksudkannya itu, kaum Marhaen harusnya bergabung atau membentuk sebuah partai politik. “Kita tak terlalu berlarut-larut memperdebatkan urusan tersebut,” ujarnya tegas.

Tentu saja ini sebuah penyederhanaan yang berbahaya dan abai sejarah. Faktanya, kaum Marhaen, menjelang dan terutama setelah runtuhnya pucuk kekuasaan rejim Orba, telah begitu terpolitisasi. Mereka telah menyatakan sikap dan pilihan politiknya melalui dukungannya terhadap PDI-P dan Megawati Soekarnoputri. Dukungan itu luar biasa besar, penuh semangat, sukarela, yang dilambari optimisme yang tinggi. Sialnya, dukungan politik penuh antusias itu diselewengkan, lebih tepatnya, dikhianati oleh PDI-P dan Megawati Soekarnoputri. Seperti saya katakan di atas, tak ada satupun usaha serius dari PDI-P dan Megawati untuk membangun kembali Republik. Dan atas penyelewengan serta pengkhianatan itu, kaum Marhaen, lagi-lagi menunjukkan sikap politiknya dengan mentalak tiga kepemimpinan Megawati.

Maka di sini, gerakan politik Marhaenis bukan pertama-tama bagaimana membangun partai politik atau masuk partai politik. Yang terutama adalah merumuskan kembali posisi politik Marhaen, apakah berpihak pada Republik atau terus menjadi klien negara imperialis. Jika berpihak pada Republik, maka slogan lama Bung Karno “go to hell with your aid” adalah titik pijak pertama untuk melangkah ke depan. Gerakan politik Marhaen, harus secara tegas menyatakan penolakannya terhadap seluruh agenda negara imperialis. Dalam bidang ekonomi, misalnya, kaum Marhaen harus tegas-tegas menolak seluruh agenda kebijakan neoliberal. Dalam bidang politik dan pertahanan keamanan, kaum Marhaen harus menolak keterlibatan Indonesia dalam skenario perang global melawan terorisme. Sekali melunak, atau sejenak saja menjadi moderat, selamanya tak akan mampu ke luar dari jebakan imperialisme. Inilah yang menimpa rejim Luiz Ignacio “Lula” Da Silva di Brazil.

Dengan posisi politik seperti ini, implikasi praktisnya, kaum Marhaen, haruslah membangun gerakan politik yang independen, di luar partai politik yang ada saat ini. Jelasnya, gerakan politik Marhaenisme, tidak boleh lagi berkait apalagi menjadi bagian struktural dari partai-partai politik yang kini eksis. Terbukti sudah, partai-partai politik yang berjaya saat ini, dari yang mengusung jargon agama maupun jargon sekuler, telah mengkhianati Republik, telah mempecundangi kaum Marhaen. Tanpa independensi ini, gerakan politik Marhaenis, hanya akan menjadi kerikil dalam sepatu bagi kekuatan politik yang ada, ia hanya akan menjadi “buih di tengah gelombang samudra.” Ia tidak bisa menjadi benteng perlindungan, sekaligus tempat menyusun strategi untuk membangun kembali Republik.***

Jumat, 30 Desember 2011

Pergulatan Revolusi Nasional Memangsa Sang Pembangun

Pengembaraan Intelektual Amir, Medan Keteguhan dan Kecerdasan Politik

MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan, keyakinan, dan kegagalan akan harapan-harapan besar dari jamannya. Itu terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme".

Seperti juga di negeri-negeri bergolak lain pada massa itu, di Indonesia pun semua itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi".

Amir, sebagaimana pemuda seangkatan lainnya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya. Pertama melalui apa yang dipelajari dari guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang, ia lebih banyak berkiblat kepada Revolusi Prancis, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia.

Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga slogan: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri bangsa Indonesia di tahun 1928—yang menurutnya seperti Yacobin, sebuah kelompok yang berperan dalam revolusi Prancis. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua. Prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.

Sepanjang 1928-1948, Amir telah mengabdi pada kebenaran-kebenaran politik yang diyakininya. Dan untuk itu ia pun harus menempuh masa perjuangan yang penuh pergulatan, kekerasan, pengkhianatan, persatuan, serta keberpihakan. Namun dalam percaturan masa ini Amir merupakan salah satu pilar penyangga dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan lugas, serta berani dalam bertindak mengisi ruang kepemimpinan yang kosong—karena kegagalan gerakan radikal sebelumnya. Moderasi melanda hampir seluruh oposisi, sehingga dirinya mampu menerobos sebagai bagian dari empat serangkai Indonesia setelah Revolusi Nasional ‘45 dikobarkan yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, dan terakhir dia sendiri.

Amir Sjarifuddin lahir 27 April 1907 di Medan. Ayahnya Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya Basunu Siregar (1890-1931) dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Berkat koneksi, Soripada dapat diangkat menjadi asisten hoofddjaksa di Medan. Namun karena memukul seorang tahanan dipenjara Sibolga, ia dipecat dari jabatannya pada bulan April 1925 dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara tiga setengah tahun, ditambah lima tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai negeri. Hukuman itu kemudian diperingan, dan terakhir dia menjadi seorang jurutulis pemerintah daerah di Tarutung.

Sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, yang meninggal secara tragis dengan menggantung diri di dapur rumahnya dengan alasan yang tidak diketahui. Amir sendiri adalah pribadi berbeda dari Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Amir tidak banyak menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya di sana-sini, tidak meninggalkan autobiografi, kumpulan pidato atau pun catatan-catatan.

Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir datang di Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927 dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.



Militan Anti Fasis Ditengah Ditengah Sorak Sorai Efuria Kebangkitan Asia



Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun 1936. Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik di awal tahun 40-an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir yang terbukti benar.

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Banyak kesan muncul tentang pribadi Amir dari kawan-kawannya, juga musuhnya. Soedjatmoko mendeskripsikan pribadi Amir sepanjang pengetahuannya tentang Amir sebagai "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya yang sederhana di Menteng Pulo, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Kawan-kawan sekolahnya dari Gymnasium, Haarlem, juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenang-wenang.



Kontra Revolusi 1948 Memahkotai Karakter Lembek Revolusi Nasional ‘45



Pasca kegagalan pemberontakan 1926—yang memunculkan reaksi keras rejim kolonial Hindia Belanda (berupa penangkapan, pembuangan, dan pembunuhan terhadap ribuan kaum kiri), kaum komunis kembali coba membangun organisasi secara ilegal, yang dipimpin oleh Musso. Kesalahan dalam membaca situasi obyektif menyebabkan mereka tetap berada dibawah tanah ketika revolusi nasional pecah—dimana berbagai spektrum politik lain telah muncul secara terbuka dihadapan massa rakyat pada saat itu, dan mengambil kepemimpinan politik. Disamping itu terpecahnya konsentrasi kader-kader komunis ke berbagai organisasi yang mereka bentuk waktu itu (PKI, PBI, dan Partai Sosialis), mengakibatkan kelemahan tersendiri bagi organisasi secara keseluruhan.

Persetujuan Renville adalah puncak kesalahan reaksioner, yang membawa Indonesia pada tepi jurang kolonialisme. Tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kesalahan besar selanjutnya ialah kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis. Kaum Komunis pada waktu itu melupakan satu hal pokok yang pernah dikatakan oleh Lenin: "Soal pokok dari setiap revolusi adalah soal kekuasaan negara". Dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, maka terbukalah jalan bagi elemen borjuasi komprador untuk memegang pimpinan pemerintahan, dan dengan demikian juga kepimpinan Revolusi Nasional. Sedangkan kaum Komunis mengisolasi dirinya dalam oposisi.

Dapat dikatakan, bahwa saat itulah revolusi nasional benar-benar berada dalam bahaya, yang makin lama makin membesar. Revolusi nasional makin lama makin jelas terperosok kedalam jurang kapitalisasi (penyerahan) kepada imperialisme Belanda cs, akibat politik kompromis yang sangat reaksioner dari elemen borjuasi Indonesia pemegang pimpinan pemerintahan. Politik kompromis ini makin menguntungkan imperialisme Belanda dan makin membesarkan bahaya bagi Indonesia.

Sesudah kaum Komunis tidak berada di pemerintahan, dan kemudian mulai giat bekerja dikalangan rakyat, mereka mulai menyadari kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang telah mereka buat. Antara lain kelemahan organisasi Partai serta organisasi massa, terutama dikalangan kaum buruh dan tani. Mereka mulai insaf, bahwa terutama harus diusahakan penyelesaian soal agraria secepatnya, karena memang sangat kurang mendapat perhatian mereka, padahal masaalah tani adalah masaalah yang penting bagi Revolusi Nasional Indonesia.

Juga mulai diinsafi, bahwa dengan tidak adanya sokongan, terutama dari rakyat pekerja (buruh, tani-pekerja, dan pekerja lainnya) yang terorganisasi rapi, tidaklah mungkin mewujudkan hegemoni klas buruh dalam revolusi nasional kita ini. Tidak mungkin pula membentuk suatu pemerintahan kerakyatan yang kuat dan berdiri tegak. Oleh karenanya mereka kemudian berusaha dengan segiat-giatnya mengorganisasikan massa rakyat pekerja, agar dalam waktu yang pendek dapat menyusun organisasi yang rapi di berbagai sektor rakyat, yang berkewajiban sebagai tulang-punggung revolusi nasional kita.

Kemudian PKI menetapkan bahwa organisasi ini, dalam susunan yang baru, harus dengan tegas membatalkan persetujuan Linggarjati dan Renville, karena dalam prakteknya telah menjadi sumber dari segala keruwetan diantara pimpinan-pimpinan dan rakyat. Dengan dibatalkannya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti Republik Indonesia merdeka sepenuhnya, dan rakyat tidak terikat lagi oleh persetujuan-persetujuan yang mengikat dan memperbudak. Hapusnya persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga, kekuasaan Belanda di Indonesia adalah pelanggaran kedaulatan, dan oleh karena itu tentara Belanda harus segera diusir. Hapusnya persetudjuan Linggadjati dan Renville menghilangkan segala kebimbangan dikalangan beberapa partai untuk memperluas dan meneguhkan hubungan republik dengan negeri-negeri lain. Dengan demikian republik juga mendapat kesempatan untuk menerobos blokade Belanda yang mengisolasi republik dari negeri-negeri luar dalam lapangan ekonomi dan politik.

Penolakan tersebut bukan karena Belanda terbukti tidak setia dan telah menginjak-injak persetujuan. Namun lebih karena alasan prinsipil, bahwa persetujuan-persetujuan itu mewujudkan negara yang pada hakekatnya adalah negara jajahan. Sebab itulah PKI akhirnya mengeluarkan slogan: "Merdeka se-penuh-penuhnya".

Penolakan persetujuan Linggadjati dan Renville berarti juga otokritik yang keras dikalangan PKI. Dan pengakuan salah ini kemudian coba untuk disampaikan pula kepada Rakyat-banyak. Dalam tulisan “Jalan Barunya” untuk mengkritik hal tersebut, Musso dengan jelas mengatakan:



“Kita saat ini sudah seharusnya menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan anti-imperialis di Asia, di Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan Rakjat negeri Belanda jang progresif, jang sebagian besar dari mereka dipimpin oleh CPN. Partai ini walaupun sudah membuat kesalahan-kesalahan, adalah satu-satunja Partai klas buruh di negeri Belanda jang sungguh-sungguh membantu gerakan kemerdekaan kita pada waktu sebelum dan sesudah peperangan dunia kedua. CPN adalah djuga mendjadi sekutu kita jang semestinja, dan perhubungan kita dengan CPN harus lebih dikokohkan lagi. Lain daripada itu PKI harus terus-menerus mendesak CPN supaja benar² meninggalkan politik jang bersembojan: "Unie-verband" jang djahat itu, dan menggantinya dengan politik "INDONESIA MERDEKA SEPENUH-PENUHNYA". Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia berdasarkan Demokrasi Rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan bebas dari pengaruh imperialisme serta anjing penjaganya yaitu Negara”.



Jelas dan tegas dirumuskan dalam resolusi "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" musuh yang utama adalah imperialisme Belanda yang harus diusir dari wilayah Indonesia dan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia. Kaum komunis yang dituduh membikin sovyet di Madiun dan mengkhianati republik, justru menyatu dengan kekuatan rakyat yang teguh melawan Belanda.

Tapi bagi Hatta, dkk. musuhnya ialah PKI dan kekuatan progresif, bukan Imperialisme Belanda. Pembunuhan dan penyingkiran kekuatan komunis dan kekuatan progresif—melalui program rasionalisasi—telah melemahkan kekuatan republik yang memperjuangan kemerdekaan 100%, dan mengambil jalan kompromi dengan imperialis/kolonialis Belanda. Penyelesaian kompromi ini terwujud dalam hasil Konferensi Meja Bundar, dan pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai penjajahan model baru. Indonesia tidak hanya masih terikat secara politik, ekonomi, dan militer pada Belanda, tapi Belanda membuat problem kolonial yang baru: menolak untuk menyerahkan Irian Barat!



Akhir hidup Amir Sjariffudin



Menghantar para juru runding ke Konferensi Meja Bundar, pemerintahan Hatta perlu memastikan bahwa perlawanan terhadap hasil dari konferensi—yang merugikan republik—harus dicegah. Untuk itu program rasionalisasi terhadap angkatan bersenjata perlu diajukan, yang dilanjutkan dengan titipan program Red Drive Proposals dari A.S, untuk memusnahkan kaum kiri/progresif. Provokasi diintensifkan untuk memancing reaksi dari kaum kiri, sampai puncaknya, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya membentuk sovyet di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang saat itu peristiwa Madiun meletus sedang berada di Jogjakarta dalam rangka kongres SBKA turut ditangkap beserta beberapa kawannya.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam angkatan bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.

sumber :indomarxis

Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno

Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno
Tan Malaka (1948)

Sumber: Yayasan Cahaya Kita, Jakarta 1966



Kata Pengantar

Ada penulis bangsa Inggris yang mengatakan bahwa sejarah dunia adalah riwayat hidupnya orang besar. Ucapan itu sudah jelas tidak benar. Tidak benar, karena mengabaikan peran rakyat banyak di dalam mempengaruhi jalannya perkembangan sejarah. Penulis itu melebih-lebihkan pengaruh seseorang yang mempunyai “sifat-sifat luar biasa” sehingga dalam mencari orang-orang yang bersifat luar biasa itu melupakan peranan rakyat yang sesungguhnya adalah sumber dari segala-galanya. Namun demikian tidak bisa dipungkiri pengaruh orang orang besar pada jalannya sejarah, baik dalam artian maupun yang buruk.

Pengaruh Soekarno pada sejarah Indonesia besar sekali, tidak mungkin orang memungkiri. Ir.Soekarno memang orang yang luar biasa. Tetapi kenyataan itu tidak memudahkan orang yang ingin mengenal Soekarno sebenarnya. Mana mitos, mana fakta dan kesan orang terhadap orang lain berbeda-beda tergantung dari si peninjau. Kita kenal Soekarno di mata Soekarno sendiri, seperti diceritakannya kepada Cindy Adams dalam auto biografinya. Ada lagi Sokarno di mata Louis Fisher, wartawan Amerika. Sekarang kami sajikan kepada pembaca Soekarno dalam pandangan Tan Malaka, dalam auto biografinya dari Penjara ke Penjara yang ditulis pada tahun 1948 telah menyoroti Ir.Soekarno sebagai pemimpin Indonesia. Isi brosur ini diambil dari autobiografi-nya itulah.

Tan Malaka tidak asing lagi bagi pembaca. Seluruh hidupnya sesudah masa kanak-kanak dicurahkan bagi perjuangan kemerdekaan bangsa dan rakyat Indonesia. Empat puluh tahun yang lalu dia telah menelorkan konsepsi yang konkrit tentang Republik Indonesia dalam bukunya yang menyebabkan Prof.Moh.Yamin,SH mengikatkan gelar “Bapak Republik Indonesia” kepadanya. Karena jasa-jasanya pula Tan Malaka secara anumerta telah diangkat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.

Jakarta, Agustus 1966

Penerbit


Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno

Karena amat banyak menyinggung Pimpinan Negara Republik Indonesia dalam masa revolusi ini. Maka saya perlu sekali mengemukakan sedikit pandangan mengenai dirinya Presiden Soekarno. Barangkali ada baiknya juga saya ceritakan tentang perhubungan saya dengan Presiden Soekarno.

Sah dan perubahan jiwa manusia itu umumnya, sebagai cerminan perubahan masyarakat manusia umumnya pula, juga mengalami undang dialektika, yakni perubahan sedikit demi sedikit, dari abad ke abad pada suatu ketika menjadi pertukaran sifat. Dengan maju berubahnya masyarakat sedunia, dari zaman komunisme-asli ke zaman sosialisme modern melalui zaman perbudakan, zaman ningrat dan zaman kapitalisme, maka maju dan berubahnya kebudayaan kejiwaan (psychology) manusia itu dalam ratusan tahun.

Tetapi dalam dirinya seseorang (manusia) pada suatu masyarakat dalam hidupnya seseorang itu bisa berlaku gerakan kemajuan atau gerakan kemunduran. Seseorang dalam seumur hidupnya bisa bertukar dari revolusioner menjadi konservatif atau anti-revolusioner atau sebaliknya dari konservatif bertukar menjadi revolusioner. Yang menjadi pendorong dalam pertukaran paham itu biasanya perjuangan kelas dalam masyarakat itu. Filsafat atau pandangan hidup dan juga kemauan atau wataknya orang itu sendiri. Seseorang juga berwatak waja dan konsekwen dan mempunyai pandangan yang tepat tentang gerakan kelas dalam masyarakat itu, biasanya patah atau tegak dengan pahamnya semula. Tetapi orang yang tiada mempunyai filsafat atau pandangan hidup yang tepat dan masak tetapi mempunyai watak dan kemauan yang mudah diombang-ambing oleh sentimen (perasaan) serta hawa nafsu diri sendiri atau pengaruh dari luar, biasanya kalau bertemu dengan rintangan mudah sekali bertukar warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Satu dua di antara pelbagai ukuran yang biasanya kita pakai terhadap seseorang yang terjun terhadap seseorang, sebagai pemimpin, apakah pertama sekali ia dapat melihat ke depan dan yang kedua pakah dia cukup mempunyai watak yang konsekwen untuk memegang pandangan ke depan itu. Dalam prakteknya kita bertanya, apakah yang dijanjikan pemimpin itu kepada pengikut dan rakyatnya. Kedua, apakah dia jujur dan konsekwen melaksanakan apa yang sudah dijanjikannya itu sambil juga memperhatikan cara dan moral yang dijungjungnya untuk menepati janjinya itu.

Kita pertama bertanya; apa yang dijanjikan oleh Ir.Soekarno kepada rakyat Indonesia ketika dia memimpin PNI di masa “Hindia Belanda”? kedua, apakah Ir.Soekarno jujur memegang janjinya itu?

Kita semua mengetahui bahwa Ir.Soekarno menuju kepada Indonesia merdeka atas dasar “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokrasi” dengan cara MASSA AKSI serta dengan semangat yang “tak kenal damai” (bukan serupa almarhum Dr Sutomo).

Ir Soekrano sudah menderita banyak kesengsaraan lantaran pahamnya itu dari pihak imperialisme Belanda, dan sebaliknya pula mendapat kehormatan, simpat dan pujian yang luar biasa dari seluruh golongan rakyat di Indonesia.

Tetapi bagaimanakah Ir Soekarno menepati janjinya?

Dengan Jepang yang imperialistis, militeristis dan teocratis Ir.Soekarno dari mulanya Jepang masuk sampai jatuhnya dari tahun 1942 sampai tahun 1945 dia bisa kerjasama bahkan bisa “sehidup semati” untuk mendirikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam lingkungan “Asia Timur Raya” yang pastilah cocok dengan filsafat hidup Tenno Heika dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan dan penghargaanTenno Heika oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Perang Jepang di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di Saigon.

Presiden Soekrano (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memmproklamasikam kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” serta dengan secara sandiwara membakar potret van der Plas (Roosevelt dan Churchill)—dengan “Naskah Linggarjati” dan “Renville principles” menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik.

Di masa Jepang sebetulnya banyak jalan lain bagi Gico Soekarno untuk menyingkiri ikatan halus maupun kasar yang dicoba dikenakan oleh kaki tangan Tenno Heika kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang menganjurkan atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan berlian rakyat Indonesia serta para gadis (untuk dilatih) untuk dikirim ke Tokyo. Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT, Borneo,dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda “mengosongkan kantong” dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan UNI Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus.

Seandainya Ir Sokerano tetap memegang pendiriannya semula dan bersandar atas kepercayaan kepada kekuatan 70 juta rakyat dan dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang dasar Indonesia Merdeka dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya” tetap pula memegang cara Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai (juga terhadap sembarangan imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa jepang kemerdekaan 100 % boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada yang disangka-sangka.

Tetapi kalau kita pelajari perbuatannya Ir Sokerno, maka kita terpaksa mengambil kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan analisanya masyarakat Indonesia. tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia. Tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian terhadap pertentangan yang antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada kelihatan pula dalam semua pidatonya itu perhatian terhadap pokok- pendorongnya gerakan rakyat di Indonesia, ialah gerakan murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan juga berdasarkan pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena kepintaran menggunakan Bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, menghipnotis sesuatu rapat rakyat murba.

Grande-eloquence beserta grande-elegance a’la Soekarno yang banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grand- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.

Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.

Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.

Berhubung dengan amat longgarnya cara Ir.Soekarno menafsirkan suatu paham itu, maka tak pastilah saya ini dalam menentukan apakah sikap Ir Soekarno yang sebenarnya terhadao paham dan diri saya sendiri, walaupun di masa lampau kelihatan masih serba baik.

Buat sekadarnya membuktikan kerja itu di zaman lampau, ialah sebelumnya tangkapan saya pada tanggal 17 Maret 1946 di Madiun, maka tak ada salahnya kalau di sini saya mengemukakan beberapa peristiwa yang barangkali tidak begitu atau samasekali tidak diketahui oleh umum.

Sebermula, maka kebetulan saja, saya dalam tahanan di Mojokerto (13 Juli 1946 sampai 29 Januari 1947) saya terpandang satu buku yang berjudul “Indisch Schrift v/h Recht”. Dalam buku itu tercantum Ir Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember 1931.

Hampir setengahnya laporan proses itu yang menutupi lebih kurang 60 muka, mengambil bagian yang memperhubungkan aksi Ir Soekarno di masa PNI dengan saya sendiri, ialah dengan perantara buku Masa Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di Singapura pada pertengahan 1926. Buku Masa Aksi itu sekarang sudah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia dan sudah disiarkan pada tahun lampau. Karena buku itu di masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada beberapa pemimpin yang berpengaruh besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali dan karena isi buku itu pula yang pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno kepada saya pada pertemuan bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan dari beberapa pemeriksaan itu.

Beberapa kalimat disalin ke Bahasa Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:

‘Landraad di Bandung ketua Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22 Desember 1931. Raad van justitie di Jakarta Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis 17 April 1931

Perkara terhadap para pemimpin PNI menurut artikel 153 bis dan 169 dari Weboek v.strafrecht. pada halaman 609 tertulis: Dalam Indische Tijdschrift v/h Recht Ir Soekarno, R.Gatot Mangkuprajo, Mas Kun, Supriadinata

Semenjak berdirinya PNI sampai tanggal 29 Desember 1929, yakni selama tahun tersebut teristimewa pada petengahan kedua tahun itu, di Bandung dan tempat lain-lain, ialah di Jawa dengan memimpin atau berbicara pada rapat umum kursus dan propaganda tertutup. Demikian pula dengan jalan memberikan pimpinan kepada dan memajukan massa aksinya partai mereka mengambil bagian dalam PNI dengan pengetahuan tentang tujuan partai. Maksud terakhir dari PNI dengan tegas dituliskan dalam statute..keterangan azas sebagai syarat yang pertama disebutkan’ kemerdekaan poitik, yakni berhentinya pemerintahanan Belanda di atas Indonesia itu.

“Sebagai alat yang paling baik Massa Aksi yang teraturlah yang dikemukakan.”

“Landraad menganggap penting sekali brosur Massa Aksi in Indonesie, terdapat pada produk FN ditulis oleh Tan Malaka, pemimpin komunis yang pada waktu itu berada di Singapura.” Pada halaman 639 Tidjs. v/h Rehct tertulis a.l:

“Menimbang bahwa produk AX juga menunjukan, memperbaiki, masyarakat oleh Murba (massa) dari Murba, untuk Murba perkataan mana satu persatu terdapat brosur Tan Malaka halaman 73..”

Menimbang bahwa thesis tentang pembagian imperialism atas corak dalam produk O (yang menurut saksi Kamaruddin dalam pemeriksaan adalah diktat pada kursus kepada calon anggota partai) yang juga terdapat dalam produk Bu; satu tulisan dari Inu Perbatasari, pemimpin kursus, disalin Woordelijk (kata demi kata) dari brosur Tan Malaka tersebut halaman 32 pada halaman 656 TIJDS. v/h RECHT:

“…………..Bahwa (menurut terdakwa Pen!) nasionale daad (perbuatan nasional) disebutkan akan berakhir tahun 1930.”

“………….sedangkan dengan sedikit perubahan istilah (sedikit perubahan itu adalah atas tanggungannya jaksa Belanda semata-mata,Pen!) Tan Malaka dalam produk FN mengemukakan bahwa salah satu syarat untuk menimbulkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan Hindia Belanda ialah bahwa pimpinan dari Massa Aksi harus senantiasa sanggup membentuk tuntutan dan semboyan yang baru dan bersemangat sehingga kemauan Murba suatu saat bertukar menjadi perbuatan Murba.

Pada halaman 659 TIJDS v/h RECHT:

“………….Menimbang penolakan yang menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pemberontakan yang kecil-kecil dan tidak teratur tiadalah member jaminan bagi jayanya revolusi, sudah terdapat pada surat kode Tan Malaka dan Subakat dalam produk V, kepada para pemimpin komunis di negeri ini dari sudut mana berhubungan dengan produk LL, sama sekali tidak terbukti, seperti yang hendak dikemukakan oleh Pembelaan, bahwa PNI yakni para pemimpinnya tidak menghendaki pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah, tetapi lebih tepat bahwa (PNI) menolak Putsch, revolusi yang tiada teratur sebagai siasat untuk mencapai maksudnya pengesahan yang pasti tantangan kesimpulan itu terdapat dalam uraian Tan Malaka sendiri dalam Brosur Produk FN, dimana penolakan yang pasti terhadap Putsch, sebagai siasat untuk mencapai tujuan nasional, ialah kemerdekaan juga diberi alas an penuh oleh PNI menurut produk FO dan OO dengan mempertentangkan Putsch yang tiada sempurna itu dengan Massa Aksi yang teratur sebagai alat efissient (sempurna) untuk mencapai maksud terakhir ialah kemerdekaan Indonesia sepanjang revolusi bersenjata.”

Pada halaman 660 tertulis:

“Putsch ialah hasil pekerjaan dua orang berputus asa, sedangkan revolusi adalah hasilnya suatu gerakan masyarakat. Satu revolusi seperti di Prancis dan Rusia timbul, setelah rakyat Murba disebabkan oleh suatu kejadian menunjukkan kemarahan serta kemurkaannya dengan protes pada rapat umum dan demostrasi yang disetujui oleh seluruh rakyat yang tak lain melainkan Murba yang diorganisir.”

Catatan di atas bukan dimaksud untuk membenarkan tuduhan jaksa Hindia Belanda terhadap Ir Soekarno. Juga bukan membenarkan tafsiran jaksa dan PID Hindia Belanda tentang massa aksi tetapi atas catatan di atas oleh pihak ke tiga dapat diambil sekedarnya kesimpulan bahwa PNI dan Soekarno setuju dengan Massa Aksi sebagai alat yang paling baik untuk mencapai kemerdekaan politik. Dikatakan pula baik dalam rapat umum maupun dalam rapat terbuka dan dalam kursus partai, maka buku massa aksi banyak dipergunakan.

Rupanya tuduhan pengadilan di masa Hindia Belanda yang berkenaan dengan Massa Aksi itu tak seberapa jauhnya daripada kebenaran. Sesudahnya saya membaca laporan tentang proses Ir Soekarno cs dalam TIJDS v/h RECHT tersebut di Mojokerto, maka hal ini saja contohnya pula dengan keterangan beberapa pemimpin yang rapat perhubungannya dengan Ir Soekarno di masa lampau. Keterangan Hindia Belanda itu tentang perhubungan Ir Soekarno dengan buku Massa Aksi itu sama sekali dibenarkan. Malah ditambahi pula dengan keterangan bahwa bukan PNI dan Ir.Soekarno saja, tetapi ada lagi partai-partai lain dan para pemimpin lain yang mempergunakan brosur massa aksi dalam gerakan kemerdekaan sebagai petunjuk.

Perkataan yang pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada permulaan 1945 di rumah DR.Soeharto di mana saya pertama kali berkenalan dengan Presiden Soekarno dengan perantara Saudara Sajuti Melik atas nama yang sebenarnya setelah 3 ½ saya bersembunyi di Indonesia. Kempei perkataan itu ialah “…dalam buku Massa Aksi rupanya Saudara (Tan Malaka) anggap sifatnya imperialism Inggris berada di antara imperialisme Belanda dan Amerika!”

Inilah perkataan yang pertama yang diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam pertemuan yang sangat kami rahasiakan itu, karena Jepang masih bersenjata lengkap di Indonesia, yang sudah 20 minggu lebih memproklamirkan kemerdekaannya.

Baik juga saya ulangi di sini, bahwa pada permulaan September 1945 itulah Ir.Soekarno dan saya berkenalan nama dengan nama. Muka dengan muka seperti yang sudah saya ceritakan di lain tempat, sudah bertemu di Bayah satu tahun sebelumnya ketika saya menghidangkan minum kepada Gitjo Soekarno. Meskipun saya di Bajah itu belum puas dengan jawaban Soekarno atas pertanyaan saya (Husein) tentang kemerdekaan Indonesia dan amat kecewa denga PUTERA dan HOKOKAI yang berturut-turut dibangunkan dan dibubarkan, kecewa dengan panitia Penyeliidik dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada Soekarno saya masih memusatkan perhatian. Di masa Jepang berapa kali saya berniat melangkahkan kaki ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No.56, tetapi terhambat karena adanya Jepang itu! Saya yakin akan diterima oleh Ir.Soekarno, tetapi sebaliknya yakin pula tidak akan lepas dari cengkraman kenpei Jepang. Pada akhir percakapan yang tiada disaksikan oleh DR.Soeharto, tuan rumah sendiri, tetapi disaksikan oleh saudara Sajuti Melik, Presiden Soekarno sambil menunjuk berkata kepada saya lebih kurang sebagai berikut:

“Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan kepada saudara.”

Kami berpisah dengan sedikit sokongan uang dari Presiden Soekarno kepada saya.

Yang kedua kalinya tiada lama sesudah itu dengan perantara Sdr. Sajuti Melik juga. Saya berjumpa dengan Presiden Soekarno di rumah Dr.Muwardi (Banteng) juga dalam keadaan rahasia.

Sekali Presiden Soekarno menganjurkan bahwa nanti pimpinan revolusi akan diserahkan kepada saya, sambil memberi sokongan uang pula.

Bagi saya di masa itu, perkara saya menerima hak pimpinan revolusi, atau haknya Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada saya, sebenarnya sekejap pun tidak mempengaruhi perasaan, paham dan sikap memberikan sambutan terhadap usul Presiden Soekarno. Saya sudah amat gembira bertemu muka dengan Presiden Republik Indonesia: Republik yang sudah lama saya idamkan yang presidennya adalah putra Indonesia sejati pula. Usul pemimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu kehormatan saja dan sebagai tanda suatu kepercayaan dan penghargaan Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda yang nyata, bahwa di masa lampau benar ada satu ikatan jiwa dan paham antara Bung Karno dan saya, walaupun kami hidup berjauhan.

Di belakang harinya sesudah demonstrasi 19 September 1945 di Jakarta yang saya dengar pula kabar dari pihak para menteri, bahwa dalam satu sidang presidentil cabinet , Presiden Soekarno berkata bahwa “…kelak dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam gerakan revolusioner.” Namanya itu belum disebutkan tetapi akan diumumkan dalam satu rapat tertutup.

Peristiwa penyerahan pimpinan revolusi itu saya bicarakan dengan Mr.Soebarjo yang pada saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Mr.Soebarjo saya kenal baik ketika di Nederland pada tahun 1922 dan saya jumpai di Jakarta pada 25 Agustus 1945 ialah seminggu lamanya setelah proklamasi kemerdekaa dan setelah seminggu lamanya saya sia-sia menjumpai kembali Soekarni cs dan Chaerul Shaleh cs. Mr.Soebarjo menganggap usul penyerahan pimpinan revolusi kepada saya sebagai usul yang penting juga. Desas-desus sudah terdengar di kiri-kanan bahwa Presiden Soekarno akan ditangkap oleh Inggris dan akan dituduh sebagai “war criminal” (penjahat perang) karena dianggap oleh sekutu sebagai membantu Jepang ialah musuhnya sekutu dalam perang dunia ke dua. Berhubung dengan kemungkinan penangkapan itu diperkuat pula oleh aksinya murba Jakarta pada tanggal 19 September yang tiada disetujui oleh Presiden Soekarno rupanya bertambah merasa perlu mengadakan payung sebelum hujan ialah mempersiapkan surat warisan mengenai pimpinan revolusi.

Kelihatan benar pada saya bahwa Mr.Soebarjo, Menteri Urusan Luar Negeri amat setuju dengan usul tadi.

Setelah keadaan di Jakarta mendesak karena Inggris hendak mendarat dan saya terpaksa meninggalkan Jakarta (keterangan lebih lanjut akan menyusul di belakang) maka Mr.Soebarjo berusaha dan berhasil mendapatkan surat warisan.

Yang terpenting dari surat warisan itu ialah bahwa kalau tiada berdaya lagi, maka mereka, Soekarno-Hatta akan menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Surat warisan itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta pada tanggal 1 Oktober 1945.

Mulanya yang mau menandatangani cuma Presiden Soekarno dan surat warisan itu akan diberikan kepada saya sendiri saja. Tetapi karena desakan Moh.Hatta (menurut Soebarjo), maka Wakil Presiden Moh.Hatta ikut menandatangani dan menambah tiga orang lainnya untuk mewarisi.

Karena saya anggap perlu mengorganisir murba di luar kota Jakarta, sebab saya pandang Jakarta sudah terancam dan saya belum dapat berhubungan dengan para pemuda Jakarta dan sama sekali belum tahu adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat warisan yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta di dalam tas pada tanggal 1 Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai sekarang (17 Februari 1946).

Demikian perhubungan paham diri dengan Ir.Soekarno dengan saya semenjak berdirinya PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sampai satu setengah bulan berdirinya Republik Indonesia ialah 1 Oktober 1945.

Baik juga saya sebutkan di sini bahwa pada saat meninggalkan Jakarta dan membawa surat warisan yang ditandatangi oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta itu, tercamtuhlah di hati saya: kalau kelak Massa Aksi terhadap Inggris dan Belanda berhasil, maka gugurlah tuduhan “war criminals” tuduhan penjahat perang itu kepada Soekarno Hatta. Dan kalau Massa Aksi gagal, maka seluruh rakyatlah yang akan menanggung jawaban tuduhan “war criminals” ditambah “revolutionary –criminals”, tuduhan penjahat perang ditambah tuduhan penjahat revolusi. Tegasnya saya mengharapkan Soekarno-Hatta sehidup semati dengan rakyat/pemuda Indonesia.

Ringkasnya, pada nasib seluruhnya murba beraksi dan aksi murba lah saya anggap tergantungnya nasib para pemimpin Soekarno-Hatta.


Arsip Tan Malaka | Sejarah Marxisme di Indonesia | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Tan malaka :semangat muda (1926)

iap-tiap pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun sekarang, terdiri oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan tengah.

Menurut pikiran KARL MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas mengadakan hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada sesuatu pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam pergaulan hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata Marx lagi, semua sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta rendah dan tinggi, antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang terhimpit dan yang menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman Bangsawan, Kaum Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan dan Raja yang menghimpitnya.
Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini bersemayam Semangat Revolusioner"
download

GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA KEMBALI KE MARHAENISME?

GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA

KEMBALI KE MARHAENISME?

Oleh: M. Utche Pradana (Komisariat Fakultas Biologi UGM)

Sebelum adanya pemaksaan kepada organisasi massa / ormas untuk memakai hanya asas Pancasila, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia memiliki asas Marhaenisme, asas yang telah ada sejak GMNI lahir sebagai organisasi gerakan mahasiswa. Malah jauh sebelum menjadi underbouw dari Partai Nasional Indonesia. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia adalah hasil fusi dari tiga organisasi yaitu, Gerakan Mahasiswa Marhaenis, Gerakan Mahasiswa Nasional dan Gerakan Mahasiswa Demokrat yang pada tanggal 23 Maret 1954 mengabungkan diri menjadi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Tahun 1983, MPR yang baru terbentuk dari hasil pemilu yang tidak kita tahu benar jujur atau tidak, pemerintah dengan pragmatis telah "memaksakan" Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi apapun, termasuk ormas dan orpol. Langkah pragmatis ini oleh rezim orde baru dianggap sebagai langkah untuk menipiskan watak ideologis dari partai-partai politik dan organisasi massa.

Pancasila yang telah menjadi konsensus nasional saat itu harus dijadikan sebagai prinsip yang ekslusif dan lengkap. Penjabaran lebih lanjut dari ideologi monolitik ini sekalipun kabur dalam ungkapan-ungkapan atau simbol-simbol kemudian dipaksakan melalui pembenaran-pembenaran yang sekaligus menghilangkan esensi dari Pancasila itu sendiri. Pembenaran-pembenaran itu berupa beberapa rangkaian penataran P-4, kuliah-kuliah Pancasila dan represivitas terhadap perkembangan kelompok-kelompok ideologis.

Penolakan maupun penerimaan terhadap paksaan asas tunggal ini, ternyata tidak langsung berkaitan dengan pragmatisme rezim itu sendiri, akan tetapi lebih pada taraf legitimasi pemerintah terhadap keberadaan sebuah organisasi. Ada anggapan pada massa rakyat bahwa gagasan asas tunggal itu hanyalah tes politik terhadap kesetiaan kepada rezim, dan represivitas yang terjadi kemudian menjadikan gagasan asas tunggal itu bukan lagi sebuah tes politik, akan tetapi lebih pada intervensi rezim kepada rakyat yang sama sekali bertentangan dengan UUD 45.

GMNI dengan trauma sejarahnya, berupa kekalahan besar kelompok nasionalis pasca kudeta 1965, yang mengakibatkan secara organisasional, terjadi gelombang eksodus para oportunis dan petualang politik, mau tidak mau harus menerima asas tunggal tersebut. Apalagi jika kita melihat peta sejarah rezim orde baru, sangat banyak bentuk intervensi dan ‘devide et impera’ dalam setiap organisasi. Saat ini saat keran perubahan dan kebebasan berkelompok dan berorganisasi dibuka, serta dengan paradigma demokrasi yang menjamin keterbukaan dan perbedaan, kemungkinan bagi GmnI untuk kembali ke asas lama yaitu Marhaenisme sangat besar. Walaupun bagi GmnI saat ini Marhaenisme sebenar secara esensial adalah Pancasila juga, tergantung dari sudut pandang manapun.

Banyak hal yang harus disiapkan GmnI jika ingin kembali ke Marhaenisme, pertama; Apakah saat ini marhaenisme masih relevan sebagai sebuah ideologi ? Kedua; Perlukah revisi-revisi dan penyesuaikan Marhaenisme sebagai ideologi agar sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini? Kemudian jika memang harus ada revisi-revisi, format dan konsep seperti apa Marhaenisme ‘baru’ itu? Ketiga; Apakah Marhaenisme bisa direvisi? Oleh siapa dan apa parameter revisi itu bisa dianggap sah dan legitimate? Karena tidak menutup kemungkinan dengan kondisi yang diciptakan rezim Orba selama 30 tahun telah menciptakan manusia fanatik yang dogmatis dan hanya terikat pada simbol-simbol dan semboyan-semboyan yang mau tidak mau malah menghambat perkembangan peradaban manusia itu sendiri.

Tiga pertanyaan di atas harus dijawab oleh GmnI sendiri, karena yang akan melaksanakannya nanti adalah GmnI sendiri, jika kembali ke Marhaenisme itu terwujud. Harus banyak terjadi dialektika untuk mencapai sebuah sintesa yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Mungkin tulisan ini dapat menjadi picu dari perdebatan mengenai perlu tidaknya GmnI kembali ke Marhenisme.

Sama pentingnya dengan memperdebatkan independensi dari GmnI sendiri sebagai organisasi sosial yang sudah semestinya jauh dari segala macam bentuk intervensi dari pihak luar. Karena sebagai sebuah organisasi massa yang notabene dipenuhi oleh orang muda sebagai bagaian dari kader bangsa, tentunya GmnI harus dapat bertahan dan survive ditengah percaturan dunia yang semakin rumit dan njelimet.

Tapi satu yang harus diingat dalam pelajaran berdemokrasi dan berpolitik, bahwasanya mendengar adalah pelajaran pertama, dan tiada kawan yang abadi dalam demokrasi dan politik duniawi.

sumber :blog gmni.ft ugm

ONG HOK HAM MENIMBANG BUNG KARNO (BY PETER KASEDA)

Alm.Ong hok ham dekat dengan mahasiswa terutama dg GMNI dan dia lebih cenderung kedekatan dg Partai PNI.Bagaimana Bung Peter kaseda seorang intelektual /alumni GMNI JAKARTA RAYA menulis dalam presentasi silahkan dibaca


download

Selasa, 27 Desember 2011

Pidato Bung Karno di Semarang 29 Juli 1956

Pidato Bung Karno di Semarang 29 Juli 1956


“Saudara-saudara,
Djuga sadja pernah tjeritakan dinegara-negara Barat itu hal artinja manusia, hal artinja massa, massa.

Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia didunia ini, Saudara-saudara, “basically” – pada dasar dan hakekatnja – adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa massa inilah achirnja penentu sedjarah, “The Makers of History”. Bahwa massa inilah jang tak boleh diabaikan ~ dan bukan sadja massa jang hidup di Amerika, atau Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi massa diseluruh dunia.

Sebagai tadi saja katakan: Bahwa “World Prosperity”, “World Emancipation”, “World Peace”, jaitu kekajaan, kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia : bahwa emansipasi adalah harus emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia ; bahwa perdamaian haruslah perdamaian dunia ; bahwa damai adalah harus perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.

Itu saja gambarkan, saja gambarkan dengan seterang-terangnja. Saja datang di Amerika,- terutama sekali di Amerika – Djerman dan lain-lain dengan membawa rombongan. Rombongan inipun selalu saja katakan : Lihat, lihat , lihat, lihat!! Aku jang diberi kewadjiban dan tugas untuk begini : Lihat, lihat, lihat!! – Aku membuat pidato-pidato, aku membuat press-interview, aku memberi penerangan-penerangan; aku jang berbuat, “Ini lho, ini lho Indonesia, ini lho Asia, ini lho Afrika!!”

Saudara-saudara dan rombongan : Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga!

Perhatikan, perhatikan keadaan! Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin tjarilah peladjaran dari pada hal hal ini semuanja, agar supaja saudara saudara dapat mempergunakan itu dalam pekerdjaan raksasa kita membangun Negara dan Tanah Air.

Apa jang mereka perhatikan, Saudara-saudara? Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara itu – terutama sekali di Amerika Serikat – apa jang saja katakan tempoh hari disini ” Hollandsdenken ” tidak ada.

“Hollands denken” itu apa? Saja bertanja kepada seorang Amerika. Apa “Hollands denken” artinja, berpikir secara Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara “That is thinking penny-wise, proud, and foolish”, katanja.

“Thinking penny-wise, proud and foolish”. Amerika, orang Amerika berkata ini, “Thinking penny-wise” artinja Hitung……..satu sen……..satu sen……..lha ini nanti bisa djadi dua senapa `ndak?…….. satu sen……..satu sen……… “Thinking penny-wise”………”Proud” : congkak, congkak, “Foolish” : bodoh.

Oleh karena akhirnja merugikan dia punja diri sendirilah, kita itu, Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan “Hollands denken” itu. Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas mendjadi orang jang berpikir “penny-wise, proud and foolish”.

Jang tidak mempunjai “imagination”, tidak mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai keberanian – Padahal jang kita lihat di negara-negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa bangsa jang mempunjai “imagination”, mempunjai fantasi-fantasi besar: mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan menghadapi risiko ; mempunjai dinamika.

George Washington Monument misalnja,
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai “imagination” itu, Saudara-saudara.

Bangsa jang tidak mempunjai : imagination” tidak bisa membikin Washington Monument. Bangsa jang tidak mempunjai “imagination”………ja, bikin tugu, ja “rongdepo”, Saudara-saudara. Tugu “rong depo” katanja sudah tinggi, sudah hebat.

“Pennj-wise” tidak ada, Saudara-saudara. Mereka mengerti bahwa kita – atau mereka – djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai “imagination”,: “imagination” hebat, Saudara-saudara.

Perlu djembatan? Ja, bikin djembatan……tetapi djangan djembatan jang selalu tiap tiap sepuluh meter dengan tjagak, Saudara-saudara, Ja , umpamanja kita di sungai Musi…….Tiga hari jang lalu saja ini ditempatnja itu lho Gubernur Sumatera Selatan – Pak Winarno di Palembang – Pak Winarno, hampir hampir saja kata dengan sombong, menundjukkan kepada saja “ini lho Pak! Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi” – Saja diam sadja -”Sungai Ogan” – Saja diam sadja, sebab saja hitung-hitung tjagaknja itu. Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan sadja kok tjagak-tjagakan !!

Kalau bangsa dengan “imagination” zonder tjagak, Saudara-saudara !!

Tapi sini beton, tapi situ beton !! Satu djembatan, asal kapal besar bisa berlalu dibawah djembatan itu !! Dan saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian itu ; djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara ; jang hanja beberapa tjagak sadja.

Satu djembatan jang tinggi dari permukaan air hingga limapuluhmeter; jang kapal jang terbesar bisa berlajar dibawah djembatan itu. Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja, “imagination”, “imagination” “imagination”!!! Tjiptaan besar!!!

Kita jang dahulu bisa mentjiptakan tjandi-tjandi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu jang sampai sekarang belum hancur ; kita telah mendjadi satu bangsa jang kecil djiwanja, Saudara-saudara!! Satu bangsa jang sedang ditjandra-tjengkalakan didalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit, sirna ilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu “rong depa”.

Saja tidak berkata berkata bahwa Grand Canyon tidak tjantik. Tapi saja berkata : Tiga danau di Flores lebih tjantik daripada Grand Canyon. Kita ini, Saudara-saudara, bahan tjukup : bahan ketjantikan, bahan kekajaan. Bahan kekajaan sebagai tadi saja katakan : “We have only scratched the surface ” – Kita baru `nggaruk diatasnja sadja.

Kekajaan alamnja, Masja Allah subhanallahu wa ta’ala, kekajaan alam. Saja ditanja : Ada besi ditanah-air Tuan? – Ada, sudah ketemu :belum digali. Ja, benar! Arang-batu ada, Nikel ada, Mangan ada, Uranium ada. Percajalah perkataan Pak Presiden. Kita mempunjai Uranium pula.

Kita kaja, kaja, kaja-raja, Saudara-saudara : Berdasarkan atas “imagination”, djiwa besar, lepaskan kita ini dari hal itu, Saudara-saudara.

Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.

Pidato bung Karno ganyang Malaysia

Sang Proklamator Indonesia tersebut;

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu.

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo… ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia…
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Pidato Bung Karno didepan Konferensi PARTINDO, Mataram, Jogjakarta 1933

Marhaenisme : Antara kemelaratan dan kekayaan


Pidato Bung Karno didepan Konferensi PARTINDO, Mataram, Jogjakarta 1933

TENTANG MARHAEN, MARHAENIS, MARHAENISME
Marhaenisme yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi

Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub didalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa diartikan bahwa kaum tani dan kaum lain-lain kaum melarat tidak termaktub didalamnya.
Karena Partindo berkeyakinan bahwa didalam perjoangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
Di dalam perjuangan kaum Marhaen, maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang paling besar sekali.
Marhaenisme adalah Azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah pula Cara Perjoangan untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu cara perjoangan yang Revolusioner.
Jadi Marhaenisme adalah: cara Perjuangan dan Azas yang ditujukan terhadap hilangnya tiap-tiap Kapitalisme dan Imperialisme.
Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.

Pidato Bung Karno didepan Konferensi Besar GMNI, Kaliurang 1959
HILANGKAN STERILITEIT DALAM GERAKAN MAHASISWA

“Bagi saya Azas Marhaenisme adalah Azas yang paling cocok untuk Gerakan Rakyat Indonesia”
Rumusannya adalah:

Marhaenisme adalah Azas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya.
Marhaenisme adalah, dus azas dan cara perjuangan “tegelijk” menuju kepada hilangnya Kapitalisme, Imperialisme dan Kolonialisme.

Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga SOSIO NASIONALISME dan SOSIO

DEMOKRASI; karena Nasionalismenya Kaum Marhaen adalah Nasionalisme yang Sosial Bewust, dan karenanya Demokrasinya Kaum Marhaen adalah Demokrasi yang Sosial Bewust-pula.

Dan Siapakah yang saya namakan Kaum Marhaen itu ??
Yang saya namakan Kaum Marhaen itu adalah : Setiap Rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat, yang dimelaratkan oleh Sistem Kapitalisme, Imperialisme, dan Kolonialisme.

Kaum Marhaen terdiri dari tiga unsur
Pertama: Unsur Kaum Proletar (Buruh)
Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia
Ketiga : Kaum Melarat Indonesia yang lain-lain.

Dan Siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis ??
kaum Marhaenis adalah “setiap pejuang dan setiap patriot bangsa”:
-. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu dan
-. Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan Sistem kapitalisme, Imperialisme, dan Kolonialisme, dan
-. Yang bersama-sama dengan massa marhaen membangun negara dan masyarakat yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme yang saya jelaskan tadi.
Cam-kan benar-benar !! Setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen.

MARHAENISME ADALAH BAGIAN DARI PANCA AZIMAT

MARHAENISME ADALAH BAGIAN DARI PANCA AZIMAT

Memahami ajaran Bung Karno, ternyata tidak semudah memahami ajaran ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu lainnya, yang masing-masing mempunyai standard. Seperti diakui Bung Karno sendiri di hadapan utusan PNI Osa Maliki tahun 1966, bahwa Ajaran Bung Karno itu, selain apa yang ditulis, apa yang diucapkan, juga apa yang dilakukan, dan malahan ‘diamku’ yang termasuk bagian dari ajaran Bung Karno.

Salah satu ajaran Bung Karno yang spektakuler mengenai ‘diamKu’ adalah ketika pada tahun1945, kelompok Hatta-Syarir membikin Badan Pekerja KNIP sebagai lembaga Legislatif yang melalui Maklumat X, dengan cabinet bertanggungjawab kepada KNIP. Walau kebijaksanaan kedua tokoh ini, menurut ben Anderson dalam buku revolusi Pemuda, adalah ‘kudeta diam-diam’, akan tetapi Bung Karno ‘diam seribu bahasa’ tanpa memberikan reaksi.

Kebijakan ‘diamKu’ ini sungguh sangat besar nilainya bagi sejarah Republik Indonesia. Sebab apabila Bung Karno melakukan reaksi ‘tidak setuju’, maka akan pasti terjadi konflik politik ditingkat paling atas, pada saat revolusi baru berjalan beberapa hari. Artinya, disini Bung Karno mengajarkan kepada bangsa “ diam tanpa reaksi terhadap suatu kekeliruan, demi utuhnya kepemimpinan nasional “, pada saat musuh (Belanda) berada di depan garis pertahanan.

Sikap seperti ini juga berlaku kembali di tahun 1965, ketika Bung Karno mendeklarasikan ajarannya dengan “Panca Azimat Revolusi”, yang di dalam lima aziamt itu tidak termasuk marhaenisme. Pidato 17 Agustus 1965, yang merupakan pidato terakhir Bung Karno dalam posisi merdeka, diutarakan ajaran beliau, dengan kalimat:

“Aku berdo’a, Ya Allah ya Robbi, moga-moga gagasanku, ajaran-ajaranku yang kini tersimpul dalam lima azimat, gagasan-gagasanku, ajaran-ajaranku itu akan hidup seribu tahun lagi.

…..Panca Azimat adalah pengejawantahan dari pada seluruh jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita yang terbentuk disepanjang sejarah 40 tahun lamanya. Azimat Nasakaomlah yang lahir lebih dahulu dalam tahun 1926…..Azimat kedua adalah Azimat Pancasila yang lahir bulan Juni 1945….Azimat ketiga adalah azimat Manipol/Usdek, yang baru lahir setelah 14 tahun lamamnya mengalami masa republic Mereka…..Aziamt keempat adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun yang lalu ……..azimat kelima adalah azimat Berdikari, yang terutama tahun ini kucanangkan.”

Bagi orang-orang PNI, Pernyataan Bung Karno seperti ini, bisa jadi dianggap kurang pas. Sebab dalam azimat tadi, tdak menyebut Marhaenisme. Padahal secara ukuran waktu, Marhaenisme adalah ajaran Bung KArno yang pertama ditemukan melalui Kang Marhaen di Cigalereng Tahun 1921. Dan memang Bung Karno dalam pernyataannya sering membikin orang-orang PNI merasa tidak pas, seperti misalnya pidati 1 Juni 1945, pada bagian akhir ungkapan Bung Karno mengatakan, bahwa kelima sila itu bisa diperas menjadi tiga saja, yakni sosio nasionalisme, sosio –Demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa. Sementara sosio nasionalisme dan Sosio – Demokrasi, adalah formulasi dari Marhaenisme. Dalam beberapa kesempatan Bung Karno selalu mengutarakan bahwa “ya Marhaenisme, ya Pancasila adalah kerbau-kerbau satu kandang”.

Dan yang membuat orang-orang PNI kesal , jika Bung Karno mengatakan, “yang tidak setuju kepada nasakom, berarti tidak setuju kepada Pancasila, yang tidak setuju kepada Pancasila, tidak setuju kepada Marhaenisme”, Ungkapan-ungkapan seperti ini, bagi banyak orang PNI dinilai ‘memojokan orang PNI’.

Satu hal yang pantas dikagumi terhadap orang-orang PNI, bahwa semua orang PNI merasa memiliki Negara republic Indonesia. Perasaaan tidak sekedar sebagai warga Negara, akan tetapi merasa sebagai ikut memiliki Negara. Rasa ikut memiliki Negara, bertolak dari anggapan bahwa Bung Karno adalah ‘Bapak Marhaenisme’, yang sekaligus pendiri PNI, kemudian sebagai Proklamator RI, dan menjadi Presiden pertama, dan ditetapkan lagi menjadi presiden seumur hidup. (kemudian dibatalkan oleh A.H. Nasution melalui Tap MPRS XVIII/1966). Perasaan ikut memiliki ini, berakar seperti seorang anak yang merasa berhak atas kepemilikan bapaknya, jadi bernilai feodalistik. Hubungan dengan Bung Karno, oleh sebagian orang PNI dianggap sudah berkadar ‘perkoncoan’. Jadi tidak sekedar idiologis.

Namun ketika Bung Karno bicara di kongres PNI tahun 1963 di Purwokerto menegaskan bahwa Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan sidang BPK PNI Bandung, April 1964 memutuskan “Marhaenisme ialah Marxisme yang diterapkan “ maka orang-orang PNI pun pecah berantakan. Sebagian besar orang PNI membentuk PNI tandingan sambil mendeskreditkan PNI lainnya sebagai ASU (ali Surachman) yang berbau Marxis. Tapi kedua pihak tetap mengatakan sebagai pengikut ajaran Bung Karno.

Marhenisme memang tidak disebutkan oleh Bung Karno di dalam Azimat . Akan tetapi jika uraian Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 tentang Marhaenisme, seperti

Dua dasar yang utama, kebangsaaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu’ itulah yang dahulu saya namakan sosio- nasionalisme. Dan Democrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek economische democratie, yaitu politieke democratie, dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan socio democratie.”

Uraian ini bila ditambah dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah sepenuhnya mempunyai makna yang sama dengan Pancasila. Jadi ucapan Bung Karno “ Ya Pancasila, ya Marhaenisme adalah kerbau-kerbau dari satu kandang “ adalah benar sepenuhnya.
Memang bisa menjadi pertanyaan, mengapa dalam Panca ajimat Bung Karno tidak memasukan Marhenisme. Saya menilai bahwa kebijaksanaan Bung Karno tidak menempatkan Marhaenisme di dalam panca azimat ialah karena Marhenisme itu sudah menjiwai keseluruhan panca azimat . bung Karno sangat arif untuk tidak menyebut marhaenisme sebagai sama dengan Panca Azimat , karena dua hal:

1. Jika Marhaenisme disebut sebagai sama dengan Panca Azimat, maka orang-orang PNI menjadi besar kepala, dan merasa sebagai TUAN pemilik Negara, padahal orang-orang PNI tidak menjalankan ajaran Bung Karno itu.
2. Jika MArhaenisme disebut sebagai ajaran dalam status Panca Azimat, hal itu akan menimbulkan keengganan dari rakyat Indonesia yang non PNI, menerima ajaran Bung Karno.
Soalnya, bangsa Indonesia memang masih lebih banyak mengambil kesimpulan, bukan secara rasional, melainkan secara emosional.

Rakyat yang setuju kepada Ajaran Bung Karno, akan tetapi jika hal itu mengharuskan mereka menjadi anggota PNI, akan banyak yang keberatan. Sementara tanpa menyebut Marhaenisme, namun secara hakiki paham itu sudah ada dalam panca Azimat.

Jika orang-orang PNI sadar bagaimana arifnya Bung Karno memberi nama pada ajarannya, demi semua rakyat Indonesia bersatu padu di dalamnya, mestinya orang-orang PNI sejak sekarang, tidak lagi ngotot menyebut Marhaenisme, pada saat penggemblengan massa.

Pidato Tertulis pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, 17 Februari 1959

Pidato Tertulis pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, 17 Februari 1959
Lenjapkan Sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa (17-02-1959)



terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini. Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme.

Apa sebab saya gembira?

Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat—- suatu partai politik—- yang asasnya pun adalah Marhaenisme.

Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia.
Rumusannya adalah sebagai berikut:
Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.
Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk”, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.
Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.

Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu?
Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.

Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:
Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh)
Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan
Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa.
Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan
Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan
Yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi.Camkan benar-benar!: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!

Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini?

Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.

Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen.

Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril!
Karena itu:

Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa!

Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen!

Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni!

Dan agar yang tidak murni terbakar mati!

Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi

Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasilLah Konferensi Besar ini.

Jakarta, 17 Februari 1959

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/
PEMIMPIN BESAR REVOLUSI

SUKARNO
BAPAK MARHAENISME