akhir kebengisan sejarah

akhir kebengisan sejarah

Rabu, 05 Januari 2011

Seputar G30 S PKI

Pembelaan Nyono dimuka Mahmilub pada tanggal 19 Februari 1966.
Di publikasikan pada situs Indo-Marxis, situs kaum Marxis Indonesia, 16 Februari 2002.
Dalam amanat Presiden Sukarno dihadapan wakil-wakil partai politik di Guesthouse Istana, Jakarta, tanggal 27 Okt 1965, ditegaskan bahwa kejadian September bukan sekedar kejadian 30 September, tetapi adalah suatu kejadian didalam Revolusi kita.
Saya sudah kemukakan bahwa prolog daripada G30S adalah adanya rencana kudeta dewan jenderal. Dalam bahasa sehari-hari, gara-gara ada Dewan Jenderal maka ada Dewan Revolusi. Saya telah kemukakan bahwa prakteknya Dewan Jenderal merupakan golongan politik tersendiri. Disini perlu saya tegaskan, karena tidak semua Jenderal masuk dalam Dewan Jenderal, maka Dewan Jenderal adalah golongan politik tersendiri dari Jenderal-Jenderal tertentu yang menjalankan politik Nasakom-phobi, khususnya Komunisto-phobi, hal mana adalah bertentangan dengan politik Presiden Sukarno.
Kegiatan anti komunis tersebut adalah langsung bertentangan dengan politik Presi-den yang justeru kurang lebih dua minggu sebelunya, berkenaan amanat dirapat raksasa ultah ke-45 PKI di Stadion Utama Senayan, dimana Presiden Sukarno sekali lagi menandaskan bahwa PPKI adalah "ya sanak ya kadang, yen mati melu kelangan".
Jelaslah bahwa menentang Dwan Jenderal pada hakekatnya adalah menentang Jenderal tertentu yang menjadi kapitalis birokraat, yang dalam prakteknya bersifat memusuhi Nasakom dan sokoguru-sokoguru Revolusi.
Saya lebih yakin lagi akan adanya Dewan Jenderal setelah saya mendapatkan bahan-bahan masa epilog dari G30S masa epilog merupakan masa "openbaring" atau masa terbukanya wajah politik yang sesungguhnya daripada Dewan Jenderal. Dari koran-koran dapaat diketahui bahwa Jenderal AH. Nasution muncul terang-terangan dengan kampanye anti komunisnya. Sesungguhnya Presiden Sukarno tiada jemu-jemunya memberikan indoktrinasi tentang mutlaknya Nasakom bagi penyelesaian indonesia. Saya mengakui bahwa saya telah melakukan serentetan kegiatan membantu G30S, jelaslah bahwa G30S bukanlah suatu pemberontakan, tetapi suatu gerakan pembersihan. Bagaimana keterangan yuridisnya saya serahkan kepada kuasa hukum saya.
Kesimpulan:
PKI berada dibalik G30S, dengan dalih membela presiden soekarno, secara pribadi maupun untuk mengamankan "REVOLUSI" yang sedang dijalankan Presiden Soekarno. Peristiwa G30S merupakan puncak dari aksi revolusiatau kudeta PKI di Indonesia, yang sebelumnya sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan (pembunuhan) terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang keberadaan komunis (PKI).
Cuplikan Pengakuan Dr. Soebandrio Tentang Tragedi Nasional 30 September.
Saat G30S meletus saya tidak berada dijakarta, saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut turba (turun kebawah). Pada tanggal 28 sept 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Uara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling ke Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Pada tanggal 29 Oktober 1965 pagi hari , Panglima AU Omar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya saya melaporkan kepada bung karno adanya sekelompok Dewan Jenderal -termasuk bocoran dewan Jenderal membentuk kabinet.
Menurut Serma Bungkoes (Komandan Peleton Kompi C Bataliyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemputan Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik, yang ada adalah tangkap dan hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakrabirawa Tawur dan Komandan Bataliyon Untung tangkap para jenderal itu, kata bangkoes setelah ia bebas dari hukuman. Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperkenan-kan masuk rumah oleh isteri MT Haryono, sang istri curiga suami dipanggil Presiden kok dinihari. Karena itu pintu rumah itu didobrak dan MT Haryono tertembak tidak jelas apakah Haryono Pondok Gede (lubang buaya).
Ada masa dimana Indonesia lowong kepemimpinan sejak awal oktober 1965 sampai Maret 1966 atau sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai Presiden, tapi sudah tidak punya kuasa lagi Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun dikalangan parpol-parpol besar dan kecil. Para pemimpin parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang mencoba memulihkan wibawa. Walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
Lantas..mahasiswa melanjutkan demo turun kejalan..satu-satunya tuntutan maha-siswa yang murni menurut saya adalah bubarkan PKI Setelah ditangkap saya langsung ditahan, saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa dengan tuduhan sub-versi dan dijatuhi hukuman mati. Jelas saya sangat terpukul saat itu. dari posisi orang orang nomor dua di Republik ini saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani awal dipenjara Cimahi Bandung. Disana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S) diantaranya adalah Kolonel Untung yang memang Komandan G30S. kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya dalam suatu saya dengar Aidit mendukung gerakan pembunuhan anggota jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden, sebab kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka selanjutnya bakal sulit.
Kesimpulan:
PKI berada dibalik peristiwa G30S, buktinya kesaksian Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI (Badan Pusat Intelejen) mengatakan bahwa Aidit dan Untung terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang tersebut adalah tokoh-tokoh PKI. Tetap dengan dalih yang sama, seperti pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan kepemimpinan presiden Soekarno.Namun kalau Nyono jelas jelas mengatakan bahwa PKI yang membasmi Dewan Jenderal demi alasannya.
Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Refromasi. (Drs. Markonina Hatisekar dan Drs. Akrin Ijani Abadi, Pustaka sarana kajian Jakarta Brat, cetakan ke 3 maret 2001, hal 116-118) Kegagalan G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi sejarah perjuangan kaum komunis di Indonesia. Kehancuran kekuatan militer G30S/ PKI Kabur. DN Aidit lari ke Jawa Tengah, Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur kebasis camp didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada taggal 3 Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk memberikan keterangan tentang gagalnya PKI di Kayu Awet, Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar laporan tersebut, Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah untuk melaporkan situasi terahir di Jakarta kepada DN Aidit.
Pada hari yang sama, DN Aidit di Jawa Tengah telah memerintahkan Pono kembali ke Jakarta membawa instruksi lisan kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno. Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI yang masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai dan Nyono dapat mewakili DN. Aidit menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Bogor pada taggal 8 Oktober 1965. Aidit beralasan, dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena tidak adanya transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono membacakan teks yang intinya menyebutkan bahwa bahwa PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut gerakan 30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI juga mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa terahir setelah serangkaian G30S PKI dan melakukan konsolidasi partai. Pada tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo, dilakukan rapat gelap antara DN Aidit, Pono dan Munir (anggota PKI yang baru tiba dari Jawa Timur). Dalam rapat itu dikatakan bahwa kegagalan gerakan 30 Sept akan membuka kedok keterlibatan PKI. Keberadaan PKI untuk melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan bersen-jata, usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta rapat. Aidit menugaskan Ponjo untuk meneliti daerah mana saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis PKI guna melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan untuk ditinjau adalah: Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali, Semarang dan Klaten.
Belum lagi kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD telah memasuki kota Solo. Walau PKI berusaha melawan, namun pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD di Boyolali, DN Aidit terbunuh. Kejadian demi kejadian berlangsung dengan amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada PKI. Rakyat bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia pada konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam satu front melawan PKI. Pada ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu dipertahankan oleh pengikutnya. Lewat ketetapan MPRS-RI. NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan Marxis-Leninisme dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
Aksi G30S/PKI Awal Dari Pelanggaran HAM.
Peristiwa penyiksaan dan pembunuhan sembilan Jenderal pada 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa yang menjadi bagian dari pasukan komunis Indonesia (PKI) dan dikenal sebagai Grakan 30 September adalah tanggal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. "Orang sekarang bicara pelanggaran HAM, sesung-guhnya titik awal dari pelanggaran HAM adalah penyiksaan para jenderal. Itu apa yang kami rasakan, kata putra pahlawan revolusi Mayjen Anumerta Sutijo, Agus Wijoyo, di Jakarta, Senin (23/9). Pernyataan Wakil Ketua MPR itu disampaikan saat penjelasan pers rencana peluncuran buku bertajuk kunang-kunang kebenaran dilangit malam setebal 250 halaman pada tanggal 30 September nanti.
Buku tersebut berisi penuturan anak-anak dan keluarga Pahlawan Revolusi tentang kejadian yang disaksikan dan dialami 1 Oktoer dini hari. Penuturan itu terdiri dari keluarga Jenderal Ahmad Yani, Letjen Purnawirawan Soeprapto, Letjen Anumerta S. Parman, Mayjen Anumerta D.I. Penjaitan, Mayjen Anumerta Soetojo Siswomiharjo, Lettu CZI Anumerta Piere Tendean dan Keluarga AH. Nasution.
Mengeluh
Katerin Penjaitan mengeluh, dirinya orang tua yang bisa dihargai pengorbanannya, belakangan mereka seolah-olah dikaburkan, "saya tidak terima. Saya tahu peritiwa itu, karena bukan anak kecil lagi, waktu itu usia saya 17 tahun" katanya. Menurutnya orang tuanya mati secara sadis. "Kita sakit mengingat peristiwa itu, komunis memang sadis," katanya dengan terbata-bata.
Sedangkan Amelia Yani menyayangkan, para tahanan politik yang keluar dari penjara, enak sekali bicara bagaimana membunuh para jenderal. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya putra-putri yang ditinggalkan.
Ia membantah para pasukan Cakrabirawa yang tergabung dalam PKI tidak melaku-kan penyiksaan, orang tua kita diseret, ditembak, mereka bilang seenaknya, itu bukan penyiksaan tandasnya.
Amelia menyatakan siapa lagi yang mau membela para Pahlawan Revolusi kalau bukan anak-anaknya "Kita tidak pakai bedil, hanya pakai pena, kita menyatakan kudeta, penyiksaan itu terjadi jangan terulang kembali.
Putra D.I. Penjaitan mengatakan hal senada, bahwa pasukan PKI sadis, sebagai gambaran, selongsong peluru mencapai 360 biji yang ditemukan diarea pekarangan rumah seluas 800 meter pada peristiwa penculikan dan penembakan ayahandanya, 1 Oktober 1965, sekitar pukul 03.00-04.00 WIB, selain orang tuanya keponakan ayahnya, Albert Naibab ikut meninggal ditembak dan Viktor Naibab cacat seumur hidup.
Kunang-kunang
Putri Suprapto, Nani Indah Sutojo menyatakan peristiwa yang diangkat tidak berkonotasi politik. Harapannya dengan mengemukakan pengalaman, mata rantai kekarasan sejarah harus diputus, dibangun mata rantai baru dengan situasi yang damai dan harmonis. Ia menyadari, rekonstruksi peristiwa G30S/PKI berdasakan pengalaman keluarga Pahwalawan Revolusi bukan kesimpulan sejarah, sebab sejarah punya pendekatan, metode aliran tersendiri yang tidak mati, bisa mengungkap hal baru. "Itu milik akademisi. Tapi kebenaran yang kami sampaikan adalah realitas bersama. Kunang-kunang sebagai judul buku bisa jadi dalam kegelapan ada cahaya baru yang mungkin redup, diganti dengan sejarah lain," tuturnya. "Kami tidak bermaksud tetap pada tataran penderitaan, iba, belas kasihan, kami inginkan munculnya harapan baru pada tingkat kearifan sesuai kemampuan yang bisa kami sampaikan, tambahnya"
*************** 0 0 0 0 0 0******************
Pelajaran dari G30S
40 tahun yl., kecuali dalang dan beberapa pelaku utama G30S, bisa dikatakan seluruh rakyat didunia tak terkecuali juga rakyat Indonesia sendiri tetap dirundung tanda-tanya besar, apa sesungguhnya yang terjadi di Indonesia pada subuh-pagi 1 Oktober 1965, itu? Ya, sampai hari ini, setelah lewat 40 tahun, tetap saja banyak masalah belum terungkap jelas, siapa dalang G30S sesungguhnya? Mengapa Dewan Revolusi yang bertujuan melindungi Presiden Soekarno, justru dituduh makar merebut kekuasaan Presiden Soekarno? Dimana peranan jenderal Soeharto dalam G30S sesungguhnya? Mengapa jenderal Soeharto tidak dimasukkan dalam daftar jenderal-kanan yang harus diculik, bahkan sebaliknya adalah jenderal yang dilapori rencana G30S? Dan, mengapa jenderal Soeharto setelah mengetahui rencana penangkapan beberapa jenderal atasannya, tidak segera melaporkan pada jenderal Yani, tapi membiarkan atau merestui penangkapan itu berlangsung? Mengapa penangkapan atas ke-7 jenderal-jenderal itu yang semula untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno, berubah menjadi dibunuh di-Lubang-buaya? Siapa yang memberi komando membunuh dan apa maksudnya? Mengapa bisa terjadi pasukan-pasukan yang digunakan melancarkan G30S pada subuh pagi itu, justru adalah pasukan yang resmi didatangkan ke Jakarta oleh jenderal Soeharto sendiri dan kemudian pasukan itulah yang digunakan untuk menumpas apa yang dinamakan G30S di Halim? Mengapa jenderal Soeharto untuk naik tachta kepresidenan, dengan menyerukan pemurnian Pancasila, yang ber-Tuhan dan ber-Prikemanusiaan itu justru adalah jenderal yang melancarkan pembunuhan atas tokoh-tokoh-utama PKI dan pembantaian atas jutaan rakyat tak-berdosa? Dan, ... mengapa tangan besi kerkerasan yang boleh membunuh umat manusia tanpa melalui proses HUKUM tidak juga berhenti setelah membasmi habis komunis di Indonesia, tapi tetap saja berlangsung dengan peristiwa MALARI, peristiwa Tanjung-periok, Petrus, penghila-ngan tokoh-tokoh gerakan pemuda, sampai pada pembunuhan Munir akhir-akhir ini? Inilah serentetan pertanyaan-pertanyaan dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lagi yang belum terjawab dengan baik.
yang kita hadapi, masih begitu banyak masalah G30S belum terungkap bagaimana kenyataan sesungguhnya, kedua belah pihak yang bertarung, masing-masing mengajukan argumentasi dengan "fakta-fakta" yang mungkin memperkuat pendirian dan pendapatnya. Jadi, dalam waktu dekat ini mengharapkan satu kesimpulan yang bisa diterima semua pihak tentu sulit, bahkan masih sangat sulit. Kita hanya bisa mengharapkan pemuda-pemudi pekerja sejarah bangsa kita bisa bekerja lebih keras lagi, menggali fakta-fakta kejadian 40 tahun yang lalu, berusaha membuat satu kesimpulan yang lebih mendekati kenyataan sesungguhnya yang terjadi. Ber-sungguh-sungguh menghilangkan segala manipulasi fakta, pemelintiran dan pemal-suan sejarah selama penguasa Orba lebih 32 tahun yang dipatok sebagai "kebenaran" tunggal. Inilah tantangan berat yang jatuh dipundak pemuda-pemudi bangsa yang besar ini. Dan, ... sebelum mencapai kesimpulan yang bisa diterima semua pihak itu, hendaknya dari pihak-pihak kekuatan yang bertarung selama ini, bisa menyatukan kesepakatan pelajaran dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi itu, terutama G30S, agar tidak lagi terulang kesalahan-kesalahan yang lalu, agar tidak lagi berjatuhan korban pada rakyat yang tidak berdosa. Mudah-mudahan bisa dan berhasil.
banyaknya korban telah berjatuhan dikedua belah pihak yang bertarung, baik korban dari kekuatan-kekuatan yang sadar untuk bertarung dan harus diakui, korban terbesar justru jutaan rakyat tak berdosa yang tidak tahu apa-apa. Bagi seorang yang bertanggungjawab atas tindakannya, tentu korban yang tak perlu terjadi demikian ini harus dielakkan. Baik kita perhatikan sejak peristiwa Madiun '48, PRRI/ PERMESTA, DI-TII, G30S, MALARI, Tanjung-Periok, serentetan kerusuhan berbau SARA, dari kerusuhan Mei '63, Situbondo, Ujung Pandang, sampai Tragedi Mei'98 , dari perselisihan agama di Ambon, Poso dampai pertarungan suku di Kalimantan, peledakan bom-bom terroris, dari Bom Bali beberapa tahun yl, bom mariot sampai bom Kuta-Bali kemarin ini, dst., ... Hendaknya bangsa Indonesia sudah bisa merenungkan pelajaran-pelajaran yang harus ditarik, bisa disimpulkan baik-baik, agar tidak lagi terjadi kekerasan, perbuatan-perbuatan brutal yang membuat korban-korban berjatuhan terutama orang-orang yang tak berdosa, dan jelas terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan demikian ini hanyalah merusak marta-bat bangsa dimata dunia, merupakan gores-hitam dalam sejarah Indonesia!
HUKUM sebaik-baiknya dinegeri ini. Disatu pihak, aparat HUKUM harus berkemam-puan menindak pelanggar HUKUM, dengan tidak mempedulikan betapa tinggi posisi seseorang dipeemerintahan, karena setiap warga sama derajat didepan HUKUM; dipihak lain, setiap warga, setiap kelompok, setiap parpol yang ada juga bersikap menjunjung tinggi dan mentaati HUKUM yang berlaku. Tidak memaksakan kehendak sendiri, apalagi melakukan kekerasan untuk menuntut orang lain menerima keyaki-nan yang dianggap paling benar, baik berupa penyiksaan, maupun pem-bunuhan diluar HUKUM. Inilah pelajaran yang sangat penting harus kita tarik dari peristiwa-peristiwa kekerasan berdarah yang telah menggores-hitam sejarah Indone-sia itu, agar tidak terulang kembali!
Adalah satu kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi selama ini, pihak aparat HUKUM tidak menunjukkan kemampuannya untuk menjerat dalang & pelaku-utama dan berhasil menjatuhi hukuman secara tepat dan adil. Pembunuhan atas jenderal-jenderal tanpa proses pengadilan 40 tahun yl. adalah salah, kesalahan serius yang harus dikutuk! Dalang dan pelaku-utama harus dijerat HUKUM. Tapi langkah berikut yang lebih parah dan kejam adalah kesalahan yang lebih serius lagi yang lebih-lebih harus dikutuk! Tidak saja melakukan pembunuhan atas tokoh-tokoh utama PKI saja yang juga dilakukan tanpa melalui proses pengadilan, tapi dilanjutkan dengan pembantaian atas jutaan rakyat tak berdosa yang juga dilakukan diluar HUKUM! Dan kenyataan orang yang paling bertanggungjawab, sampai sekarang tidak tergugat HUKUM! Penguasa yang melan-carkan penangkapan ratusan ribu orang tak berdosa selama belasan tahun, yang dilakukan tanpa proses HUKUM dan memperlakukan dosa-warisan, dimana jutaan keluarga-anak-anak tapol harus menanggung "dosa", adalah juga bentuk penyiksaan keji yang menginjak-injak HAM. Dan penanggung jawab kejaidian-kejadian kejam demikian ini, sampai sekarang tidak tergugat HUKUM.
-pelanggaran HUKUM, main menghakimi sendiri, bunuh-membunuh tanpa proses pengadilan dilakukan kekuatan-kekuatan yang bertarung telah terjadi dan, ... menjadi sesuatu yang wajar saja di Indonesia. Bahkan dalam masalah-masalah kerusuhan yang berbau SARA yang mengorbankan sekelompok warga etnis Tionghoa, yang nampak hanya saling tuding-menuding tanpa ada ujungnya. "Dalam kasus kerusu-han di Tasikmalaya dan Situbondo, pada Desember 1996, misalnya, Pangab Jenderal Feisal Tanjung, pagi-pagi sudah menuding otak pemicu kerusuhan itu kelompok ekstrem kanan. Tudingan itu segera mengisyaratkan pada ormas Nahdlatul Ulama (NU), yang kebetulan di Tasikmalaya dan Situbondo sangat kuat. Lucunya, pihak NU sendiri justru menuding pihak di luar NU yang mendalangi kerusuhan tersebut, yakni para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bahkan, tokoh HMI, Eggy Sudjana, dikabarkan ikut mengompori suasana. Namun, bekas Ketua Umum HMI periode 1986-1988 itu segera membantah tudingan tersebut. Dan, Eggy menyesalkan kecenderungan tuding-menuding adanya "pihak ketiga" dalam kerusuhan Tasik-malaya itu." (Lihat, Forum Keadilan 19 August 1998)
yakin, tanpa adanya ketegasan dan kemampuan aparat HUKUM untuk menjerat siapa saja yang melanggar HUKUM dinegeri ini, maka negeri ini akan tetap saja amburadul, dan, ... rakyat jelata selalu menjadi korban, berkorban tanpa berkesudahan. Bagi pejabat-pejabat tinggi pelanggar hukum, yang menginjak-injak HAM, yang korupsi tetap saja bergentayangan hidup bermewah-mewah diluar HUKUM. Lalu, pihak oposisi melihat kenyataan demikian ini, juga akan melakukan perlawanan diluar hukum, bertindak memaksakan politik dan pemikirannya yang dianggap paling benar itu dengan kekerasan. Oleh karena itu, masalah utama dan lebih dahulu diupayakan pemerintah adalah penegakkan HUKUM sebaik-baiknya dinegeri ini. Berlakukan dan konsekwenlah melaksanakan HUKUM, tak seorangpun, betapapun tinggi jabatannya boleh kebal HUKUM, dikecualikan. Didepan HUKUM, setiap orang sama derajat.
Kedua, seiring dengan meningkatnya kesadaran budaya, martabat manusia, baik dengan ber-Tuhan maupun ber-Prikemanusiaan, hendaknya bisa memperlakukan setiap umat manusia yang perlu dihormati, disayangi dan tidak boleh menganiaya bahkan membunuh semaunya sendiri. Jadi, siapapun harus mencapai kesadaran bisa memperlakukan setiap manusia sebagai umat manusia yang harus dihormati, disayangi, apapun ras, etnis, agama, politik dan ideologi yang ada. Inilah kiranya arah perkembangan budaya dan martabat manusia yang lebih tinggi, baik yang ber-Tuhan maupun kaum komunis yang dikatakan kafir atau atheis dan orang-orang tidak ber-Tuhan umumnya.
setiap peristiwa kekerasan yang terjadi, adalah satu sikap tidak bisa menghormati pendapat beda, terutama beda politik dan ideologi. Melupakan budaya manusia yang agung, Prikemanusiaan. Dianggapnya orang yang beda politik dan ideologi, sebagai musuh yang harus dimusnahkan dari bumi ini. Menjadi kontradiksi antagonis yang tak terdamaikan, menjadi "Kita yang membunuh mereka atau mereka yang membu-nuh kami.". Terjadilah bunuh membunuh tanpa berkesudahan. Benarkah keadaan demikian diteruskan berlanjut?
perkembangan masyarakat ribuan tahun itu, nampak begitulah yang terjadi. Dari masyarakat perbudakan, masyarakat feodal dan masyarakat kapitalis sekarang ini, kontradiksi tak terdamaikan antara budak dengan tuan-budak, tani dengan tuan-tanah, buruh dan kaptialis terjadi kontraddiksi antagonis yang tak terdamaikan, tidak mereka yang mati, kami yang mati. Tidak lagi ada syarat hidup berdampingan secara damai. Tapi, seiring dengan peningkatan budaya dan martabat manusia yang bisa saling menghormati dan menyanyangi sesama umat manusia, dan dengan satu sistim-masyarakat yang baik, kontgradiksi yang antagonis itu seharusnya bisa didamaikan, seharusnya bisa diselesaikan secara damai-damai. Dengan kesadaran ini, kita semua harus berjuang kearah itu, DAMAI dan PERDAMAIAN! Apapun masalahnya, pertentangan yang terjadi harus diselesaikan secara HUKUM, meng-gunakan HUKUM yang berlaku adil! Dan sesuai dengan gerak perkembangan masyarakat, seandainya HUKUM yang berlaku itu dirasakan ada kekurangan atau tidak adil, tentu perlu dan bisa direvisi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Suatu kehidupan bermasyarakat harmonis didalam jalur HUKUM yang berlaku.
komunis, sekalipun mereka tidak ber-Tuhan, tapi yang mengaku bertujuan mem-bebaskan seluruh umat manusia dari penindasan dan penghisapan, seharusnya juga adalah kelompok yang menjunjung tinggi Prikemanusiaan, yang bisa menghormati dan menyanyangi setiap umat-manusia sebagai manusia. Saya yakin, seandainya ada peristiwa kekejaman dilakukan oleh pihak yang menamakan dirinya komunis, ini hanyalah satu kesalahan yang juga harus dikutuk oleh kaum komunis! Begitulah kalau kita perhatikan betul bagaimana sikap Mao Tse-tung, ketua Partai Komunis Tiongkok itu terhadap musuh-musuh politiknya, terhadap tawanan perang, dimana beliau menuntut mereka diperlakukan sebagai manusia dan dihormati sebagai manusia. Pada saat susah kekurangan bahan makanan, harus tetap menjamin tawanan bisa diberi cukup makan! Inilah sikap yang benar dari kaum komunis. Mao Tse-tung bersikap tetap menghormati dan menyanyangi sesama manusia terhadap lawan politik dan tawanan perang, agar tidak terjadi balas-berbalas dendam, usaha menghentikan berbalas dendam yang tidak berkesudahan itu.
, dalam praktek kehidupan bermasyarakat, kita tetap saja bisa melihat kesalahan-kesalahan, kekejaman yang terjadi dilakukan pihak komunis. Misalnya, penindasan terhadap gerakan mahasiswa yang kemudian dikenal dengan peristiwa Tiananmen '89 itu. Betapapun sengit perjuangan terjadi di Tiongkok ketika itu, saya yakin seharusnya masih ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan penyelesaian. Menggusur para demonstran dari Tiananmen yang sudah berkepanjangan sampai lebih sebulan itu harus dilaksanakan, tapi seharusnya bisa dilakukan dengan cara yang lebih bijaksana. Pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan Polpot di Kamboja, adalah juga merupakan kekejaman dan kesalahan dari pihak komunis yang harus dikutuk.
Seharusnya jujur melihat kenyataan yang terjadi dan berkembang di Tiongkok daratan 20 tahun terakhir ini, dimana sikap partai Komunis Tiongkok dalam memper-lakukan kapitalis dan bisa memberikan demokrasi lebih besar pada warganya. Bahkan, kapitalis yang dinyatakan sebagai elemen maju tenaga-produksi, yang aktif ikut meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat, bisa diterima sebagai anggota Partai Komunis Tiongkok. Perubahan sikap yang cukup positif dari komunis, yang menunjukkan bahwa kontradiksi antara buruh dan kapitalis, tidak selalu harus antagonis yang tak terdamaikan. Dinegara industri maju, dimana kapitalis telah tumbuh besar menjadi kapitalis monopoli negara, kontradiksi antara kapitalis dan buruh juga tidak antagonis, segalanya masih bisa diselesaikan secara damai sesuai dengan hukum perburuhan yang berlaku dinegeri itu. Dinegeri-negeri terbelakang, sebagaimana di Tiongkok dimana kapitalis masih lemah, sangat membutuhkan kapitalis untuk berkembang lebih maju, kontradiksi antara buruh dan kapitalis justru harus diselesaikan secara damai, memnyelsaikan dengan HUKUM, peraturan per-buruhan yang berlaku.
Seandainya Gestapu/PKI yang menang apakah akan terjadi pembunuhan dan korban yang lebih dahsyat lagi terhadap yang anti-komunis? Merupakan pertanyaan yang tidak pada tempatnya, pertama pertanyaan demkian ini berarti sudah secara pasti menetapkan PKI sebagai dalang G30S, dan kedua, pertanyaan demikian ini diatas dasar "kalau tidak kami yang membunuh mereka, mereka yang membunuh kami", dan ketiga, pertanyaan ini berprasangka komunis yang tidak ber-Tuhan itu kejam, jadi kalau menang juga akan main babat dan membantai semua yang anti-komunis. Tapi, saya masih yakin, seandainya tokoh PKI ketika itu yang berkuasa benar seorang komunis yang bertujuan membebaskan umat manusia dari segala penindasan dan penghisapan, maka PKI akan menjunjung tinggi PRIKEMANUSIA-AN yang akan menghormati dan menyanyangi sesama umat manusia sebagai manusia. Dan dengan demikian korban yang berjatuhan pasti jauh lebih sedikit, cukup mengadili dan menangkap tokoh-tokoh utama, sebagaimana yang bisa kita lihat sikap mantan Presiden Soekarno ketika membubarkan PSI-Masyumi dan menumpas PRRI-PERMESTA dan DI-TII.
Yang dinamakan "perang dingin" yang berlangsung hangat ditahun-tahun 50-an sampai 80-an, antara blok Sovyet-Uni dan blok Amerika Serikat, sekarang bisa dikatakan telah berakhir dengan bubarnya Uni-Sovyet dan negara-negara Eropah-timur. Tidak ada lagi pertarungan sengit antara blok kiri dan blok kanan, keadaan telah berubah dan beralih menjadi kontradiksi antara Amerika Serikat sebagai polisi dunia dengan Islam radikal-ekstrimis terutama dibeberapa negeri Timur-tengah. Dari pengalaman "perang-dingin" dimana Indonesia akhirnya secara sepihak ngeblok-kiri, nampaknya tidak menguntungkan bagi Indonesia, akan lebih bijaksana kalau Indonesia yang lemah itu justru mengambil keuntungan dari pertarungan 2 raksasa negara super-power. Yang pasti tidak ngeblok ke satu pihak. Begitu juga dengan peralihan pertarungan menjadi blok Amerika dan block Islam, hendaknya Indonesia tidak ngeblok kesatu pihak. Disatupihak, sekalipun mayoritas rakyat beragama Islam, hendaknya Indonesia tidak ngeblok pada Islam radikal-ekstrimis, sebaliknya juga harus dengan tegas melawan terrosis, dipihak lain juga tidak ngeblok pada AS dalam melawan Islam-radikal. Begitu Indonesia ngeblok pada pihak AS, Islam radikal akan lebih merajalela menggunakan sementara kekuatan Islam di Indonesia untuk menjalankan terror.
Sementara G30S masih begitu banyak masalah yang misterius, belum terjawab bagaimana sesungguhnya yang terjadi, hendaknya kekuatan-kekuatan yang bertarung bisa membuat kesepakatan pelajaran yang ditarik, agar tidak terjadi korban-korban tidak berdosa bergelimpangan lagi. Semua pihak hidup berdam-pingan secara damai, berkompetisi membangun masyarakat adil dan makmur. Mudah-mudahan impian indah ini bisa terwujut dalam kenyataan.

tulisan asahan aidit

Asahan Aidit:
"SUHARTO'S" DALAM SEBAGIAN KELUARGA PKI DAN BEKAS-BEKAS LINGKUNGANNYA
Menjelang ahir perang Vietnam, Amerika memberlakukan secara penuh politik "Vietnamisasi Perang" dan lalu secara berangsur- angsur menarik tentaranya dari Vietnam Selatan yang diharapkannya orang Vietnam membasmi orang Vietnam atau negara boneka AS yang anti Komunis membasmi negara Vietnam Utara yang Komunis. Suharto agaknya menggunakan taktik demikian. Menggunakan orang-orang Komunis (PKI) untuk ambil bagian aktif dalam menghancurkan PKI atau Komunisme di Indonesia. Bagaimana caranya? Pertama, menteror secara fisik semua anggota-anggota PKI beserta pimpimannya, simpatisannya, dan semua orang yang dicurigai atau bersangkut paut langsung atau tidak langsung dengan PKI dan bahkan rakyat luas yang tidak punya sangkut paut dengan politik PKI. Teror raksasa itu dikenal sebagai peristiwa yang diawali G30S-65.
Bersamaan dengan teror fisik yang tak terbayangkan kejam dan berdarahnya di segi kwalitas dan kwantitas, Suharto melancarkan teror mental terhadap rakyat yang di luar penjara, orang-orang PKI dalam pembuangan seperti di Pulau Buru, penjara-penjara yang tersebar di seluruh Indonesia, dan juga dengan bermacam politik pemencilan seperti politik "bersih lingkungan" yang melahirkan jutaan penganggur ekstra, politik paksaan beragama, politik reklame dengan membuat film-film horor yang menggambarkan keganasan PKI, politik memberikan cap "ET" pada kartu penduduk bagi orang-orang yang disebut ex tapol, dan bermacam-macam politik pemencilan dan peng-isolasian lainnya yang membuat semua orang yang tertuduh, tersangka, maupun yang terang-terangan anggota PKI dan keluarganya menjadi bukan main sengsaranya, bukan main menderitanya dan bukan main hinanya. Semua politik teror mental dan teror fisik itu, dimaksudkan sebagai agar orang PKI dan semua pengikut dan simpatisannya, balik mengutuk PKI, mengutuk Komunisme, mengutuk Partainya sendiri, mengutuk keluarganya sendiri, mengutuk ayah, ibu , adik, kakak, dan semua sahabat serta handai tolannya yang pernah jadi PKI yang telah menyebabkan si PKI pengkutuk pernah sengsara, pernah dihukum, dibuang, atau yang sekedar selamat dan berlari dari kepungan kekuasaan Suharto dan Orde barunya.
Akibat dari politik teror besar dan pengucilan serta diskriminasi Suharto itu, semua kemarahan dan kebencian serta dendam kesumat lalu bermutasi kepada sang korban dan bukan kepada sang algojo. Dan bahkan terhadap algojo diberikan kultus individu, dianggkat jadi pahlawan dan kekejamannya dianggap sebagai perbuataan suci. Kepada sang algojo yang sudah jompo, bukan saja diharapkan masih akan ada susulannya, tapi diharapkan cetak ulang, bahkan jilid-jilid selanjutnya.
Tapi sesungguhnya nasib Suharto sama saja dengan nasib PKI. Hanya sampai di situ saja. Tidak akan ada susulannya, tidak akan ada cetak ulang, tidak akan ada jilid selanjutnya. Mengapa?
Karena kekejamanya sudah tercatat dan tersimpan dalam musium dunia: pelanggaran HAM yang tak terbilang kasar dan kejinya, koruptor milenium yang sudah jadi anekdot Internasional, diktator rekord dunia.Yang dia tinggalkan cumalah roh anti komunis, anti kemanusiaan, anti demokrasi anti HAM dan keterpurukan ekonomi negeri dan bangsannya. Politik besar Suharto yang anti PKI bukan hanya merugikan dan menyengsarakan orang -orang PKI saja tapi telah menyengsarakan seluruh bangsa, seluruh rakyat kecuali para pengikut setianya yang masih dibiarkan rakyat menikmati kekuasaan dalam waktu yang belum bisa diketahui. Sudah begitu, toh ada segelintir orang-orang dalam keluarga PKI sendiri dan sebagian kecil linggkungannya yang secara tidak tahu malu dan hina dina bersedia menyembah Suharto, sang algojonya sendiri. Inilah yang saya maksudkan dengan pasien Sindrom Suharto. Semua dendam kesumat, kemarahan serta kebencian mereka ditumpahkan kepada Partai mereka, keluarga mereka, kawan-kawan mereka bukan kepada penyebab langsung kesengsaraan mereka. Dendam sesat ini tidak lain dan tidak bukan cumalah semacam sakit jiwa akibat perburuan kejam Suharto terhadap semua kaum komunis beserta keluargaanya. Gejala demikian bukanlah sama sekali asing. Bahkan saya menyaksikan sendiri bagaimana sejumlah anak-anak kader PKI telah memusuhi ayah mereka dan tidak mau mengakui lagi sebagai ayah atau ibunya sendiri. Karena pikiran atau jiwa yang sakit, sudah tentu tidak bisa lagi ber-pikir normal, nuchter apalagi kritis. Sedangkan bagi PKI sendiri, percobaannya untuk mencapai cita-cita politiknya, telah gagal total akibat kelemahan di bidang teori, kesalahan dibidang politik, kemerosotan di bidang ideologi akibat pemborjuisan jalan damai di dalam Partai. Juga PKI hanya sampai sebegitu saja. Tidak akan ada cetak ulang, tidak akan ada jilid selanjutnya. Rakyat Indonesia cuma harus menunggu lahirnya putra-putri terbaik mereka untuk bisa dijadikan teman setia dan terpercaya dalam memperjuangkan nasib mereka.
yang masih normal masih bisa diajak bertukar pikiran, berbeda pendapat bahkan bertengkar hingga tajam dan sengit. Ini keuntungan demokrasi yang bisa kita nikmati sekarang meskipun masih dalam bingkai yang masih terbatas. Seseorang menyikapi sejarah bangsanya bukanlah dengan sikap permusuhan, sikap fanatisme, sikap kultus individu, tapi dengan sikap berani kenyataan sejarah yang telah terjadi, tapi juga bila perlu mengoreksinya kembali sampai di mana sejarah itu telah ditulis sebagai ingatan kolektif, ingatan nasion maupun ingatan Internasional. Dan juga mengenal situasi kontemporer jamannya. Abad anti komunis yang mencapai puncak-nya di tahun enam puluhan, sekarang ini sudah tidak bisa dijadikan mata pencaha-rian seperti pada jaman itu. Dunia sudah sibuk dengan urusan lain. Amerika dan CIA sudah tidak membuang-buang waktu dan uang besar untuk keperluan ini. Mereka mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Kalau Komunisme runtuh di sebuah negara, bukan karena duit Amerika dan CIA. Mereka dapatkan semua itu dengan gratis. Jadi jangan punya banyak ilusi akan dapat upah dengan mata pencaharian semacam itu, dan akan hanya mempermalu diri sendiri, menghina diri sendiri, merendahkan diri sendiri di hadapan bangsa dan keluarga. Tapi itu tidak berarti kita tidak waspada pada sisa-sisa kekuatan anti Komunis, anti demokrasi dan anti HAM di dalam negeri. Gudang penguasa masih belum terkunci mati dan bisa dibuka setiap saat bila mereka anggap perlu. Tapi juga mereka harus memperhitungkan bahwa rakyat yang mereka tindas, juga punya pengalaman-pengalamannya sendiri di masa lalau. Pepatah mengatakan: " Seorang kakek tidak akan kehilangan tongkat untuk kedua kali".Dan juga perlu, tongkat itu bisa dijadikan macam-macam untuk berlawan.
asahan aidit.